Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 14)

Ulil menyimpulkan bahwa, “meletakkan al-Qur`an semata-mata sebagai teks yang terisolisasi dari kenyataan di sekitarnya, dan atas dasar itu kemudian ditarik kesimpulan bahwa ajaran tertentu adalah bersifat mengikat, permanen dan berlaku sepanjang masa dan tempat karena ada ketentuan harfiyahnya dalam al-Qur`an, tidak bisa lagi diterima… harus ditolak. (alenia 10 dan 9). “Ayat-ayat  al-Qur`an sudah semestinya dibaca dalam terang visi etis ini, disatu pihak, serta didialogkan dengan pengalaman umat Islam modern di pihak lain. Dengan mengecualikan ayat-ayat yang berkaitan dengan ritual murni seperti shalat, puasa dan haji dan soal makanan dan minuman, maka seluruh “ayatul ahkam” atau ayat-ayat hukum yang keseluruhannya turun di Madinah itu, harus dianggap sebagai ayat yang hanya berlaku temporer, kontekstual dan terbatas pada pengalaman sosial bangsa Arab di abad 7 M. Ayat-ayat itu mencakup ketentuan tentang kewarisan, pernikahan, kedudukan perempuan, jilbab, qishahsh, jilid (cambuk) potong tangan, untuk menyebut beberapa contoh saja…. Klaim al-Qur`an “shalihun likulli zaman wa makan,” tepat dan relevan untuk segala tempat dan waktu … perlu dilihat ulang.” (alenia 11) ia jelas keliru besar, itulah bentuk “bibliolatris” yang harus ditentang… (alenia 12)
Jelas, sangat jelas kesesatan Ulil dan penghinaannya terhadap Allah dan rasul-Nya. Dr. Abdullah al-Mushlih dan Dr. Shalah al-shawi mengatakan: “Kami bersaksi bahwa Rasulullah diutus untuk seluruh dunia. Maka setiap orang yang menganggap bahwa risalah Islam hanya untuk mengajak orang Arab saja, tidak untuk umat lain seperti yang dikatakan oleh sebagian sekte Nashara tempo dulu, dan yang dikatakan oleh sebagian penyeru sekulerisme di zaman ini maka dengan perkataan ini ia telah keluar dari Islam karena telah mengingkari nash-nash yang melimpah tentang universalitas kenabian Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dan telah mengingkari status beliau sebagai utusan keseluruh penjuru dunia.” [1]Syeikh al-Qadhi Ayyadh (‘Iyadh) mengatakan: “Barangsiapa menyangka bahwa ada Nabi lain bersama Nabi Muhammad  atau setelahnya seperti sekte Isawiyah dari kelompok Yahuidi, yang mengatakan bahwa risalah Muhammad hanya khusus untuk orang Arab, atau seperti kelompok Hazmiyah yang mengatakan keberlanjutan para Rasul, maka mereka semuanya adalah kafir, mendustakan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang mengabarkan bahwa beliau adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi sesudahnya, dan Allah mengutusnya keseluruh umat manusia. Dan umat Islam telah berijma’ untuk memahami ini semua sesuai dengan zhahirnya, tanpa ta’wil dan takhshish, maka tidak diragukan lagi kufurnya mereka itu, secara pasti, berdasarkan ijma.” [2]
Imam Ali Ibn Abi al-Izz (792) mengatakan: “Adapun  ucapan sebagian Nashara bahwa Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam hanya diutus untuk orang Arab, maka kebatilannya sangat nyata, karena ketika mereka membenarkan risalah, konsekuensinya adalah mereka wajib membenarkannya dalam semua yang dikabarkan oleh beliau, termasuk sabda beliau bahwasannya beliau diutus untuk seluruh umat manusia. Rasulullah tidak pernah berdusta, maka wajib membenarkannya secara pasti. Beliau telah mengutus para utusan untuk menyampaikan surat dakwah beliau ke seluruh penjuru dunia; kepada Kisra, (Persia), Kaisar (Romawi), Negus (Najasyi, Absya), Muqouqis (Mesir) dan seluruh penguasa di berbagai kawasan, beliau mengajak mereka kepada Islam.[3]
Karena itu, ucapan Ulil adalah ucapan orang murtad, sebabnya adalah:
  1. Mengingkari Universalitas risalah Muhammadiyah
  2. Iman kepada sebagian isi al-Qur`an dan ingkar sebagiannya
  3. Tidak berhukum dan tidak menghukumi dengan hukum Allah[4]
  4. Melakukan tahrif terhadap al-Qur`an
  5. Menghina dan melecehkan Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, dengan menyatakan bahwa syari’atnya hanya cocok untuk orang Arab Madinah abad 7 dan sekarang tidak cocok lagi harus diganti.[5]
Perlu diketahui bahwa pembatal Islam yang keempat (dari sepuluh pembatal Islam yang lazim dijelaskan oleh para ulama) adalah meyakini bahwa selain petunjuk Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuknya, atau selain hukum Nabi lebih baik dari hukumnya, seperti orang-orang yang mengutamakan hukum Thaghut atas hukum Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Syekh Abd. Al-Aziz ibn bazz mengatakan:
Termasuk pembatal Islam yang keempat ini adalah orang yang berkeyakinan bahwa undang-undang atau hukum buatan manusia lebih baik dari pada syari’at Islam, atau hukum-hukum Islam tidak cocok atau tidak relevan penerapannya di abad ke-dua puluh ini, atau hukum Islam adalah penyebab keterbelakangan bagi umat Islam, atau Islam itu hanya agama privat, yang hanya mengatur urusan pribadi dengan Tuhan, tidak mengatur urusan publik atau urusan kehidupan yang lain…, atau meyakini bahwa penerapan hukum potong tangan bagi pencuri, rajam bagai pezina mukhshan, tidak cocok untuk abad modern ini, atau meyakini kebolehan berhukum dengan  selain hukum Allah dalam mu’amalat atau hudud (hukum pidana), meskipun tidak meyakini bahwa hukum tersebut tidak lebih baik dari pada syari’at Islam, karena ia telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah secara ijma’. Setiap orang yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dari ajran-ajaran Islam yang telah diketahui secara dharuri seperti khamr, riba dan berhukum dengan selain syari’at Allah, maka dia adalah kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin[6]
Sekedar tahu saja bahwa hukum-hukum (selain ibadah murni dan soal makanan) yang dikandung oleh ayat-ayat Madaniyah, yang ditolak oleh Ulil dan yang megimaninya dianggap sebagai “menyembah teks” adalah antara lain:
  1. Hukum sihir dan hukuman bagi tukang sihir.
  2. Hukum menyembunyikan ilmu
  3. Hukum membunuh dan hukumannya
  4. Syari’at Jihad dengan seluruh kaitannya
  5. Hukum murtad dan hukumnya
  6. Hukum bagi peminum khamr
  7. Hukum judi dan hukumanya
  8. Hukum pernikahan (kewalian, mahram, mahar, syarat dan rukunnya, thalaq, khulu’, iddah, ihdad, poligami.
  9. Hukum Radha’ah (menyusui anak)
  10. Hukum riba dan hukumannya
  11. Hukum wala’ (loyal) kepada orang kafir dan hukumannya
  12. Hukum dan tata cara ishlah antara suami istri
  13. Hukum mencuri dan merampok dan membegal beserta hukumanya
  14. Hukum ghanimah dan cara pembagiannya
  15. Hukum lari dari medan pertempuran dan hukumannya
  16. Hukum tentang aurat dan pakaian
  17. Hukum berzina dan hukumannya
  18. Hukum homosex, lesbi, sex dengan binatang beserta hukumannya
  19. Hukum menuduh zina dan hukumannya
  20. Hukum li’an dengan segala konsekuensinya
  21. Hukum bertamu, berkunjung dan walimah
  22. Hukum tabanni (adopsi anak)
  23. Hukum waris
  24. Hukum gambar, lukis dan pahat
  25. Kedudukan wanita
Ini semua sekedar contoh dari al-Qur`an, belum semuanya. Adapun hukum dari sunnah maka semuanya sudah tidak relevan untuk kehidupan manusia sekarang. Yang menggelikan sekaligus menggeramkan, Ulil mengakui hukum soal makanan dan minuman, padahal kalau menurut logika justru makanan dan minumanlah yang banyak berubah dan beragam, tidak bersifat universal. Semua ini mengukuhkan bahwa ukuran ulil adalah mengikuti nafsunya untuk memuaskan ambisinya dan ambisi orang-orang kafir. Atau sekedar taqlid buta kepada nenek moyangnya, “Gerakan Tajdid”. Seperti Husen Ahmad Amin yang mengatakan: “Mengikuti Ruh Islam, dan bukan komitmen terhadap hukum-hukum tertentu, cukup dijadikan tameng yang bisa membawa kita ke jalan yang lurus. Masyarakat yang ada sekarang mendapatkan hukuman pidana mencuri tidak seperti hukuman masyarakat Badui. Begitu pula masalah hijab yang pernah diwajibkan di Madinah. Hukuman potong tangan yang ditetapkan al-Qur’an sebagai hukuman bagi pencuri adalah hukuman masyarakat Badui, seperti halnya keyakinan terhadap taqdir. Hijab lebih tepat untuk masyarakat Madinah dan tidak tepat untuk masyarakat Kairo pada Abad ke dua puluh”[7].

[1] Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Op.cit hal 135
[2] Qadhi Ayyadh, Op. cit, Hal. 285; Ihasan Ilahi Zhahir, al-Qadyaniyah (Riyadh, Ar-Ri’asah al-Ammah, 1404. hal. 287
[3] Abd al-Akhir al-Ghunaimi, Al-Minhah al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarah al-Thahawiyah (Dammam, Dar al-Shahabah, 1416) hal 222
[4] lihat, misalnya: Ali al-Khudair, Syarah Nawaqidh al-Islam (Qasim, Markaz Wasail al-Thalib, 1423, hal 15
[5] Ibid, hal 17
[6] Abd. Allah al-Abdali,  Aqidah al-Muwahhidin (Thaif al-Tharafain, cet. 1, 1411) hal. 457
[7] Ali Hasan al-Halabi, Op. cit, hal. 65

Sumber :: http://old.gensyiah.com/hukum-mendustakan-nabi-shollallohu-alaihi-wa-sallam.html