rss

Selasa, 11 Desember 2012

Hukum mendustakan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam

Hukum mendustakan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 14) Ulil menyimpulkan bahwa, “meletakkan al-Qur`an semata-mata sebagai teks yang terisolisasi dari kenyataan di sekitarnya, dan atas dasar itu kemudian ditarik kesimpulan bahwa ajaran tertentu adalah bersifat mengikat, permanen dan berlaku sepanjang masa dan tempat karena ada ketentuan harfiyahnya dalam al-Qur`an, tidak bisa lagi diterima… harus ditolak. (alenia 10 dan 9). “Ayat-ayat  al-Qur`an sudah semestinya dibaca dalam terang visi etis ini, disatu pihak, serta didialogkan dengan pengalaman umat Islam modern di pihak lain. Dengan mengecualikan ayat-ayat yang berkaitan dengan ritual murni seperti shalat, puasa dan haji dan soal makanan dan minuman, maka seluruh “ayatul ahkam” atau ayat-ayat hukum yang keseluruhannya turun di Madinah itu, harus dianggap sebagai ayat yang hanya berlaku temporer, kontekstual dan terbatas...
READ MORE - Hukum mendustakan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam

Hikmatut Tasyri’ dipelajari untuk Menguatkan Syari’at

Hikmatut Tasyri’ dipelajari untuk Menguatkan Syari’at Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 13) Ulil melanjutkan: “kita harus membangun kembali kesadaran umat Islam mengenai apa yang dalam tradisi fiqh disebut sebagai “hikmatul tasyri’”, filosofi dibalik legislasi hukum, dengan kata lain aspek-aspek etis dari ajaran agama Islam harus dikemukakan lagi secara lebih persisten dan vokal untuk menandingi kecenderungan-kecenderungan fundamentalis modern yang hendak mendangkalkan pemahaman Islam sebatas atau sebagai ‘ideologi politik” atau sekumpulan ajaran yang harus diikuti begitu saja karena ia merupakan perintah Tuhan” (alinea 8) Ucapan Ulil tadi banyak mengandung kesalahan dan kelemahan: Menyebut semangat kembali kepada al-Qur`an dan sunnah sebagai fundamentalis modern, ini tidak kontekstual dan tidak relevan Kesadaran umat Islam tentang hikmah tasyri’ tidak pernah mati, jadi tidak perlu disadarkan lagi tetapi Ulil-lah...
READ MORE - Hikmatut Tasyri’ dipelajari untuk Menguatkan Syari’at

Kedzaliman terhadap Al-Qur’an

Kedzaliman terhadap Al-Qur’an Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 12) 12. Ulil kemudian dengan mantapnya berkata: “Saya hanya mencoba merumuskan masalahnya secara “lain” dalam konteks tantangan baru yang kita hadapi sekarang ini. Suatu cara pandang baru yang radikal, memang benar-benar harus diajukan untuk mengubah cara pandang yang kalau boleh ingin saya sebut sebagai “bibliolatristik” (alenia 8) Disini saya haya ingin mengingatkan sekali lagi bahwa penggunaan istilah “bibliolatristik” untuk ilmu al-Qur`an dan sunnah adalah kedzaliman yang nyata, karena al-Qur`an yang suci diserupakan dengan Bible yang dipalsu, kaum musimin yang taat kepada Allah dan rasul-Nya disamakan dengan umat yang syirik kepada Allah dan kufur kepada rasul-Nya, dan ilmu al-Qur`an disamakan dengan ilmu Injil, al-Qur`an yang universal disamakan dengan Injil yang telah dihapus masa berlakunya. sumber :: http://old.gensyiah.com/kedzal...
READ MORE - Kedzaliman terhadap Al-Qur’an

Ayat-ayat Kauniyah dalam Al-Qur’an

Ayat-ayat Kauniyah dalam Al-Qur’an Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 11) 11. Di akhir alenia 7 Ulil menyebutkan bahwa, “al-Qur`an itu adalah wahyu eksplisit yang memerlukan adanya wahyu implisit yaitu konteks dengan mediasi akal.” Lalu Ulil mengatakan; “Dalam penggunaan yang lebih popular, dikenal dua istilah; ayat-ayat Qauliyah dan ayat-ayat kauniyah. Saya pernah menggunakan istilah wahyu verbal dan wahyu non verbal. Keduanya harus saling mengandaikan dan mensyaratkan.” Ulil banyak mempermainkan al-Qur`an dengan istilah-istilah baru yang rusak sebagaimana yang kami terangkan pada bagian-bagian terdahulu. Disamping itu Ulil sering melakukan kecurangan dan pengaburan; ayat-ayat kauniyah bukanlah padanan dari wahyu implisit atau wahyu non verbal buatan Ulil, yang diartikan dengan konteks masyarakat dan pengalaman manusia. Sedangkan ayat-ayat kauniyah adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada dalam kaun (alam) berikut...
READ MORE - Ayat-ayat Kauniyah dalam Al-Qur’an

Al Qur’an dan As Sunnah bersifat Universal dan Komprehensif

Al Qur’an dan As Sunnah bersifat Universal dan Komprehensif Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 10) 10 . Setelah berteduh di bawah bayang-bayang orang yang tidak jelas tersebut, Ulil keluar dengan membawa kesimpulan “saya kira, “batu-batu bata” argumen yang telah dimulai oleh pemikir-pemikir muslim modern itu sudah cukup membawa kita untuk meninjau ulang cara kita membaca “ayat-ayat al-Qur’an atau sunnah” (alinea 7) Sekali lagi Ulil yang tidak mau menerima teks-teks al-Qur’an, al-Sunnah dan Aqwal ulama, ternyata menelan mentah-mentah teks-teks ucapan beberapa orang yang pikirannya menyimpang dan tidak wajar. Di sini akan saya paparkan beberapa keterangan ahli ilmu tentang kaidah qath’i dan zhanni berikut hukum orang yang mengingkarinya. Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah berkata: “Nushush (teks-teks) al-Qur`an dan sunnah bersifat “Ammah” (universal) dan Syamilah (komprehensif), tidak ada satu hukum-pun yang keluar dari...
READ MORE - Al Qur’an dan As Sunnah bersifat Universal dan Komprehensif

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 9)

Penolakan terhadap Prinsip-prinsip Ajaran Islam Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 9) 9. Kemudian pada alinea 6, Ulil menyebut beberapa nama orang yang menjadi nenek moyangnya dalam menolak prinsip-prinsip ajaran Islam; Qath’i dan Zhanni, mereka itu adalah: Fazlur Rahman (Pakistan-Amerika; 1919-1988) penggagas etika al-Qur’an dan semangat moral al-Qur’an[1], Mahmud Muhammad Thaha (Sudan, kira-kira 1910-1985) yang dihukum mati karena kesesatan pemikirannya yang mengatakan bahwa ayat-ayat Makkiyah harus lebih diutamakan dari pada ayat-ayat madaniyah yang temporal dan kondisional[2], Abdullah Ahmad an-Na’im (Sudan-Amerika, lahir 1946), penerus Mahmud Muhammad Thaha yang berjuang untuk “memperbaharui” syari’at Islam guna mendukung deklarasi universal HAM[3] dan Masdar F. Mas’udi (alumni IAIN Jogya), penggagas agar ibadah haji tiap tahun waktunya diperluas bukan hanya Dzulhijjah saja, tetapi meliputi Syawal, Dzulqa’dah...
READ MORE - Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 9)

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 8)

Memahami al-Qur’an dengan pendekatan Rasulullah Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 8) 8. Lagi-lagi dengan congkaknya Ulil datang bagaikan pahlawan atau malah justru seperti Musailamah al-Kadzdzab yang membuat tandingan  syahadat محمد رسول الله menjadi مسيلمة رسول الله . pasalnya Ulil berkata “Tetapi justru di sinilah saya hendak mengemukakan pandangan lain, yaitu keharusan melakukan “paradigma Shift”, atau pembalikan paradigma. Bagi saya, teori tentang qath’i dan zhanni tidak bisa lagi dipertahankan lagi sebagai sekedar teori tentang “kata”, tetapi harus menjadi teori tentang nilai. Diskursus mengenai nilai dan teori nilai tampaknya kurang dikembangkan dengan serius oleh sarjana muslim, baik klasik atau modern” (alinea 5). Ulil menolak untuk memahami al-Qur’an dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, mengapa?, karena Ulil telah mengingkari adanya hukum Allah. Memahami al-Qur’an dengan pendekatan Rasulullah shollalllohu...
READ MORE - Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 8)

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 7)

Qath’i dan Zhanni, dalam ushul fiqh Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 7) 7. Ulil kemudian melanjutkan: “Dua kata itu, Qath’i dan Zhanni, dalam tradisi ushul fiqh klasik dan modern didefinisikan dalam cara yang bagi saya, kurang tepat (alinea 4) Sudah bisa ditebak, bahwa ketika Ulil berangkat dari titik sekularisme dengan tujuan ingin membongkar supremasi al-Qur’an, maka ia pasti menolak semua kaidah yang ada dalam Islam, baik kaidah ushul, kaidah fiqh, kaidah tafsir, kaidah hadits, maupun kaidah dalam aqidah, kecuali kaidah yang dianggapnya sejalan dengan bid’ah “Kontekstualisasi syari’ah, seperti al-‘Adah Muhakkamah”, itupun menurut penafsirannya sendiri. Selanjutnya Ulil menjelaskan makna Qath’i dan Zhanni menurut ahli sunnah. Kemudian Ulil menerangkan pembagian qath’i dan zhanni menjadi qath’iyul wurud dan zhanniyul wurud, qathiyud dilalah dan zhanniyud dilalah (alinea 4). Kemudian Ulil menjelaskan alasan ketidak...
READ MORE - Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 7)

Menaati Hukum Alloh

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 6) 6. Lalu Ulil melanjutkan: “Saya mengajukan pertanyaan dan sekaligus jawaban baru dalam artikel di Kompas yang menimbulkan kontroversi itu. Apakah benar ada yang disebut “hukum Tuhan”? (dalam artian “Divine Law”) dalam pemahaman yang selama ini diletakkan sebagain besar orang modern terhadap kata “hukum”, yaitu hukum positip yang berlaku secara menyeluruh kepada subyek hukum tanpa melihat latar belakang agama, suku, warna kulit, dsb, serta ditegakkan melalui wewenang negara?. Saya, dalam artikel itu mengatakan tidak ada.” (alinea 3) Dari kutipan di atas bisa disimpulkan: Ulil tidak merasa menyesal sedikitpun (sebagaimana harapan mertuanya, KH. A. Musthafa Bishri) atas tulisannya di Kompas yang mengingkari adanya hukum Allah. Allah tidak memiliki hukum “positif”, tidak memiliki hukum skuler, tetapi hanya memiliki “hukum negatif” yang masih melihat latar belakang agama. Atas dasar pengertian...
READ MORE - Menaati Hukum Alloh

Jumat, 07 Desember 2012

Syari’at merupakan ketentuan yang mengikat semua umat Islam

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 5) 5.  Selanjutnya Ulil bertanya dengan sinis: “Apakah syari’at merupakan ketentuan yang begitu saja harus kita anggap mengikat semua umat Islam karena dia adalah “hukum Tuhan”? (alinea 3) Perlu diketahui bahwa syari’at pada zaman ini digunakan untuk tiga makna: Syara’ Munazzal (ajaran yang diturunkan) yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang wajib diikuti oleh setiap orang. Barang siapa berkeyakinan bahwa sebagian orang tidak wajib mengikuti syari’at ini, maka ia kafir. Syara’ Muawwal, yaitu hasil-hasil ijtihad para ulama mujtahid yang diperselisihkan oleh para ulama, maka boleh mengikuti salah seorang mujtahid, bagi orang yang melihat bahwa hujjahnya kuat, atau bagi orang yang berkapasitas sebagai muqallid. Tidak wajib bagi umat Islam mengikuti seseorang secara tertentu kecuali Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam. Syara’ Mubaddal, yaitu syari’at palsu, seperti hadits-hadits...
READ MORE - Syari’at merupakan ketentuan yang mengikat semua umat Islam

Makna Syari’at

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 4) 4. Ulil mengatakan: “Kita dihadapkan lagi dengan persoalan lama yang belum tuntas perdebatannya, apakah yang disebut dengan syari’at? Mana saja lingkupnya?. (alinea 3) Yang perlu diperjelas dan dijawab dari kutipan di atas adalah: Belum tuntas perdebatannya antara pembela syari;at Allah dengan kaum sekularis, subordinan Barat kapitalis. Yang dimaksud dengan syari’at Islam adalah hukum dan ketentuan apa saja yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam [1]. Ruang lingkup syari’at adalah: Pertama: Aqidah dengan segala kandungannya. Kedua : Tasyri’ (hukum ibadah dan mu’amalah). Ketiga : Akhlaq dan adab beserta kandungannya [2] Sumber. Gensyiah.com [1] Al-Sa’di, Op. cit (1413) hal. 170 [2] Ibrahim al-Dasuqi Khumais, Muqawwimat al-Hayah Min al-Qur’an (Dar al-Shahwah, 1406), hal. 9; Team Penyusun Modul KIT, Pengantar Studi Islam (Jakarta, al-Sofwa,...
READ MORE - Makna Syari’at

Dalil yang mengandung dua kemungkinan makna

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 3) 3. Ulil menyatakan: “Pandangan Prof. Hosen ini saya anggap sangat maju dan cukup berani. Atas dasar patokan ini, kita bisa dengan mudah menilai sejumlah ayat dalam al-Qur`an yang selama ini sudah dianggap qath’i, padahal didalamnya terdapat ihtimal (kemungkinan makna) yang lain diluar makna literal yang sering dipahami dari ayat-ayat itu.” Lalu Ulil mencontohkan gagasan Munawir Sadzali yang menganggap bahwa, “pembagian warisan pola lama, anak laki-laki dapat dua sementara anak perempuan dapat satu bagian adalah tidak qath’i. Ihtimal atau keberatan yang diajukan Munawir, antara lain pembagian itu tidak adil dalam konteks sekarang, dimana beban rumah tangga dipikul bersama. Keadilan yang sudah jelas dan gamblang adalah salah satu pondasi seluruh ajaran Islam, menjadi pertimbangan pokok untuk menilai ulang ketentuan tentang hukum waris ini.” (alenia 2) Ada banyak hal yang perlu...
READ MORE - Dalil yang mengandung dua kemungkinan makna

Antara Akal Sehat dan Akal-akalan

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 2) 2. Ulil menyetujui pendapat Prof. Ibrahim Hosen bahwa, “Nash yang qath’i itu harus terbebas dari ta’arrudh aqli (alinea 2) Perlu diketahui dua hal: Yang dimaksud dengan “akal” adalah “aql sharih”, akal sehat, akal waras, akal fithri, common sense yang dimiliki oleh semua mukallaf, bukan apa yang disebut sebagai logika, tetapi tidak dibenarkan oleh banyak orang yang berpikiran waras. Kalau yang terakhir ini kita sebut dengan “akal-akalan” yang dalam bahasa Arab disebut Takalluf dan Tanaththu’.[1] Tidak boleh di dalam al-Qur’an ada yang menyalahi “aql sharih” atau “hiss” (indera), melainkan di dalam al-Qur`an sendiri telah ada pejelasan maknanya. Sebab al-Qur`an dijadikan oleh Allah sebagai obat bagi yang ada di dada dan sebagai pejelas bagi manusia, maka tidak mungkin ada pertentangan dengan “aql sharih”.[2] Adanya ta’arudh antara naql dan akl hanyalah masalah iftiradhiyah (pengandaian)...
READ MORE - Antara Akal Sehat dan Akal-akalan

Ijtihad dalam Islam

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 1) berikut ini adalah sambungan bantahan terhadap makalah Ulil yang membabat ke sana kemari dengan membati buta (karena memang buta mata hatinya). Karena yang dirusak terlalu banyak, maka tanggapan berikut ini hanyalah garis besarnya saja. 1. Ulil menyebut, “kaidah ahlu sunnah “La Ijtihad Fi Muqabalah al-Nash”, tidak dimungkinkan adanya ijtihat atau penalaran hukum dalam bidang-bidang di mana ada teks yang menerangkan dengan jelas ketentuan hukumnya, sebagai ketentuan hukum yang pasti dan mengikat, qath’i.” (alinea 2) Saya katakan: “Nukilan ini betul, tetapi karena ternyata Ulil menolak nukilan kaidah tersebut, maka perlu saya jelaskan maksud ijtihad menurut ahlu sunnah wal jama’ah. Prof. Dr. al-Zunaidi menjelaskan bahwa ijtihad menurut salafiyah (ahlu sunnah) adalah: (a) mengerahkan daya dan mencurahkan segala kemampuan, (b) oleh seorang faqih, (c) untuk mengeluarkan...
READ MORE - Ijtihad dalam Islam
 
Free counters!