rss

Kamis, 23 Juni 2011

BERDIALOG DENGAN TERORIS (Belajar dari Pengalaman Arab Saudi dalam Menumpas Terorisme) [Bagian 1]


BERDIALOG DENGAN TERORIS (Belajar dari Pengalaman Arab Saudi dalam Menumpas Terorisme) [Bagian 1]


Disusun oleh Ustadz Anas Burhanuddin, M.A. (Mahasiswa S3 Universitas Islam Madinah, Arab Saudi)
Pengantar 
Setan memiliki dua  pintu  masuk  untuk menggoda dan menyesatkan manusia.  Jika seseorang banyak melanggar dan berbuat maksiat, setan akan menghiasi maksiat dan nafsu syahwat untuk orang tersebut agar tetap jauh dari ketaatan. Sebaliknya jika seorang hamba taat dan rajin ibadah, setan akan membuatnya berlebihan dalam ketaatan, sehingga merusak agamanya dari sisi ini. Para Ulama menyebut godaan jenis pertama sebagai syahwat, dan yang kedua sebagai syubhat.  Meski berbeda, keduanya saling berkaitan. Syahwat biasanya dilandasi oleh syubhat, dan syubhat bisa tersemai dengan subur di ladang syahwat [Bi Ayyi 'Aqlin wa Dîn Yakûnu at-Tafjîru Jihâdan?, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd, hlm. 3, at-Tahdzîr min asy-Syahawât, ceramah Dr. Sulaimân ar-Ruhaili].

Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus. Imam Ibnul Qayyimrahimahullah mengatakan, “Godaan syubhat (dapat) ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis dengan kesabaran.” [Ighâtsatul Lahafân, Ibnul Qayyim, 2/167]
Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan perampokan, agama Islam mensyariatkan hudûd, berupa hukuman-hukuman fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan hudûd untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudûd, tapi lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski demikian, kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan penyakit syubhat dari seseorang.
Mengikis syubhat dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh para ulama sejak zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menasihati ‘pemilik’ syubhat agar bisa (mau) kembali ke jalan yang benar.
Khusus pemikiran kelompok Khawarij yang identik dengan terorisme, ada beberapa kisah nasihat yang terkenal dari generasi awal umat Islam. Di antaranya kisah Sahabat Ibnu ‘Abbâsradhiallahu ‘anhu  yang mendatangi kaum Khawarij secara langsung untuk meluruskan beberapa pemahaman agama mereka yang menyimpang.  Setelah diskusi yang cukup singkat dengan mereka, sebanyak dua ribu orang bertaubat dari kesalahan pemikiran mereka [Sunan al-Baihaqi8/179].
Juga tercermin pada kisah Jâbir bin ‘Abdillâh radhiallahu ‘anhu  yang dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij dan berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya kepada Jâbir radhiallahu ‘anhu tentang pemahaman mereka terhadap ayat dan hadits, dan akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij kecuali satu orang saja.
Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasihat dan diskusi sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan bahwa jika pemilik syubhat tidak datang sendiri mencari kebenaran –seperti dalam kisah sahabat Jâbir-, kita dianjurkan untuk mendatangi mereka, seperti dalam kisah sahabat Ibnu ‘Abbâs radhiallahu ‘anhu.
Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme.  Setelah di penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, namun tetap memegangi pemikiran dan perilaku mereka semula.  Terlepas dari faktor hidayah, hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak optimal. Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat mereka jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah (jihad) yang mendekatkan diri mereka kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang semakin menambah pundit-pundi pahala mereka.
Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan ulama Ahlus Sunnah untuk memikirkan solusi yang lebih baik, agar gerakan terorisme bisa ditekan dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menyuguhkan sebuah solusi yang telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi  terorisme berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi.
Arab Saudi dan Terorisme
Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah bin Laden akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan. Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.
Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di ibukota negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang, termasuk 16 pelaku bom bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban (Propinsi Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang. Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei 2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu’ dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.
Harian ASHARQ AL-AWSATH  telah merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak Arab Saudi [Harian ASHARQUL- AUSATH edisi 9297, 12 Mei 2004].  Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka yang mengatakan bahwa ideologi terorisme diimpor dari negeri ‘Wahhabi’, karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.
Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan. Kota suci Mekah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini. Bahkan, ada beberapa tokoh agama yang terang-terangan memfatwakan bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari objektivitas Amerika dan sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk penghuni terbesar kamp penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.
Tapi, tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan pemerintah menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan dini, rujuknya para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi yang mengerikan tersebut.
Di samping itu, ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye penanggulangan terorisme di Arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munâshahah (Komite Penasihat).
-Bersambung insya Allah 
Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com dengan penyuntingan bahasa seperlunya
Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi 3 Tahun XV Juli 2011

0 komentar:


Posting Komentar

 
Free counters!