rss

Jumat, 24 Juni 2011

Ensiklopedi Safar sesuai Al-qur’an dan As-Sunnah


Asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi

Di tengah-tengah kesibukan Anda menyiapkan tas travel dan koper dengan segenap perbekalan dan perlengkapan, pernahkah Anda mencoba menyisihkan sedikit waktu untuk merenung sejenak ; Apa niat dan tujuan kepergian (safar) Anda? Dan tahukah anda kapankah anda disebut seorang musafir? Dan Bagaimana adab – adab syariat yang mesti Anda perhatikan agar safar menjadi safar yang penuh berkah?
Jika niat kepergian Anda adalah untuk sebuah kebaikan, maka kabar gembira untuk Anda dengan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam , artinya: ” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Bila hamba-Ku bertekad melakukan suatu amal kebajikan lalu dia tidak mengamalkannya, Aku tulis baginya satu kebaikan. Bila dia melakukannya Aku tulis baginya 10 kebaikan, hingga 700 kali lipat. Dan bila dia bertekad melakukan suatu keburukan lalu dia tidak mengamalkannya, tidak Aku tulis (keburukan) atasnya. Bila dia melakukannya, Aku tulis baginya satu keburukan’ (HR. Bukhari).
Namun, jika yang Anda niatkan bukan kebaikan maka hendaknya Anda berhati-hati dan waspada, karena ketahuilah, kepergian (safar) Anda adalah tercela dan dilarang. Dan perlu diketahui niat tempatnya dihati, tidak perlu dilafazh-kan.
Tak cukup dengan niat untuk sebuah kebaikan, jika kepergian (safar) Anda diwarnai dengan adab – adab syar’i, maka Insya Allah kepergian (safar) Anda menjadi safar yang berberkah. Namun jika tidak, Anda telah meninggalkan berbagai keutamaan yang telah tersedia di hadapan Anda. Maka, cobalah untuk menyimak risalah singkat ini.

A. Kapan kita dikatakan seorang musafir?
Dari banyak pendapat yang ada, -insya Allåh- pendapat yang paling råjih, adalah tanpa adanya jarak perjalanan yang khusus, sesuai dengan kebiasaan masyarakat, jika kepergiannya tersebut menurut ‘urf (kebiasaan) adalah suatu safar, maka ia terhitung musafir, jika tidak, maka tidak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:
“Dalil yang lebih tepat dan kuat ialah pendapat ulama yang membolehkan qasar shalat dan berbuka puasa ketika musafir dan tidak ada jarak perjalanan yang khusus. Inilah pendapat yang paling shahih.” (Rujuk Kitab Majmuu’ al-Fataawaa, 24/106)
Imam Abu al-Qasim al-Kharqi rahimahullah telah menyatakan dalam kitab al-Mughni:
“Aku tidak setuju dengan pendapat yang diutarakan oleh kebanyakan ulama fiqh karena pendapat mereka itu tidak ada hujjahnya (dalam menghadkan jarak musafir). Ini karena, terdapat riwayat dari kata-kata para sahabat yang saling menyanggah. Sedangkan, tidak boleh berhujjah menggunakan dalil yang saling berbeda.”
Disimpulkan dari beberapa pendapat, bahwa pendapat yang paling rojih adalah tiada had tertentu yang membataskan seseorang untuk dikategorikan sebagai musafir. Ia adalah bergantung kepada ‘uruf/kebiasaan seseorang itu sendiri iaitu dari mana dia berada (kawasan kebiasaan dia berada/menetap) dan ke mana dia keluar (ke tempat yang di luar kebiasaannya) tanpa dihadkan jaraknya.
(Disimpulkan dari perbahasan dalam buku Fiqh Dan Musafir Penerbangan, Hafiz Firdaus Abdullah, Di bawah Tajuk Mengqasar shalat Dalam Penerbangan, Terbitan Perniagaan Jahabersa, m/s. 161-204)
Penjelasan lebih lengkap mengenai permasahan perbedaan pendapat diantara para ulama ini bisa dicek pada link berikut:
Qasarkanlah (Pendekkanlah) shalatmu Ketika Engkau Musafir

B. Adab-adab safar sesuai sunnah Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam
1. Disunnahkan berpamitan lebih dulu bagi orang yang hendak pergi.
Disunnahkan bagi musafir untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan saudara-saudaranya. Berpamitan sebelum menjalankan safar, terdapat sebuah sunnah yang telah terabaikan. Sangat sedikit orang yang mengamalkannya, yakni seorang musafir berpamitan dengan mengucapkan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Qaz`ah, dia berkata: Ibnu Umar berkata kepadaku: “Kemarilah, akan saya berpamitan kepada engkau sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpamitan kepadaku, yaitu beliau mengucapkan doa :
-أَسْتَوْدِعُكُمُ اللهَ الَّذِيْ لاَ تَضِيْعُ وَدَائِعُهُ
“Aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya..” (HR. Ahmad 2/403, Ibnu Majah 2/943).
Berkata Imam Ibnu Abdil Barr –rahimahullah-: “Jika salah seorang dari kalian keluar bersafar maka hendaklah ia berpamitan kepada saudaranya, karena Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjadikan pada doa mereka berkah.”

2. Dibencinya safar sendirian
Terdapat hadits Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda : “Sekiranya manusia mengetahui apa-apa yang terjadi sewaktu bersafar sendirian sebagaimana yang aku ketahui. Niscaya tidak seorangpun yang akan melakukan safar di waktu malam sendirian “. (HR. Bukhari).
Larangan tersebut bersifat umum baik di waktu malam maupun di waktu siang. Pengkhususkan malam yang disebutkan dalam hadits di atas karena keburukan-keburukan di waktu malam lebih banyak dan bahayanya lebih besar. Wallahu A`lam.
Larangan safar sendirian juga terdapat dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Yang bersafar sendirian maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar hanya berdua maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar bertiga maka dia yang dinamakan bersafar.” (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah).

3. Disunnahkan mengangkat pemimpin jika safarnya tiga orang atau lebih.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika tiga orang keluar untuk safar maka angkatlah salah satu di antara kalian sebagai pemimpin.” (HR. Abu Daud, dan berkata Al-Albani rahimahullah : “Hadits hasan shahih).
Apabila pada safar yang jumlahnya tiga orang atau lebih tersebut, maka dianjurkan untuk mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin yang akan membimbing dan mengarahkan mereka bagi kemaslahatan mereka. Kemudian wajib atas mereka untuk mentaatinya dan mengikuti segala yang ia perintahkan selain bukan perintah untuk berbuat maksiat kepada Allah -Subhanahu wa Ta`ala-.

4. Dilarang membawa anjing dan lonceng dalam safar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membawa anjing dan lonceng dalam safar. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Malaikat tidak akan menemani safar seseorang yang ditemani anjing dan membawa lonceng/alat musik.( HR. Muslim).
Sebab dilarangnya lonceng karena itu merupakan terompet syaithan. Dalam hal ini terdapat jelas dalam riwayat Muslim dan selainnya dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Terompet adalah merupakan seruling syaithan.” (HR. Muslim).

5. Dilarang bagi wanita safar tanpa ada mahram.
Syariat yang suci melarang seorang wanita safar sendirian tanpa ditemani mahram.Bukhari dan Muslim serta selain keduanya meriwayatkan bahwa Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bersafar dalam jarak sehari semalam tanpa didampingi mahram.” Dalam lafazh Muslim : “Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk safar dalam jarak semalam kecuali bersamanya seorang laki-laki yang merupakan mahramnya.” (HR. Bukhari).

6. Disunnahkan safar pada pagi hari Kamis.
Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai keluar untuk safar pada pagi hari Kamis.
Dari Ka`ab bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata : “Bahwa nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Kamis pada waktu Perang Tabuk dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai keluar bersafar pada hari Kamis.”. (HR.Bukhari). Pada riwayat Ahmad: “ Sangatlah jarang apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak keluar untuk suatu perjalanan kecuali beliau lakukan pada hari Kamis “.

7. Hendaklah orang yang bersafar ketika meninggalkan rumahnya berdo’a,
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ ,
bismillahi tawwakaltu ‘alallåh,laa hawla wa laa quwwata illa billaah
“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah,”
اللَّهمَّ إني أعوذ بك أَن أَضِلَّ أو أُضَلَّ ، أَو أَزِلَّ أو أُزَلَّ ، أو أَجهَلَ أو يُجهَلَ عليَّ
allåhumma inni ‘a-udzubikaan a-dhilla au a-dhåll,au azhilla au azill,au jahala au yujahala ‘aliyy,
“Ya Allah! sesungguhnya aku berlindung kepadaMu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (syetan atau orang yang berwatak syetan), atau tergelincir dan digelincirkan (orang lain), atau dari berbuat bodoh atau dibodohi.” (Shahih, di shahihkan asy-syaikh al-albani dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Daud, HN. 5094).

8. Lalu apabila menaiki kendaraan, hendaklah berdo’a,
بِسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ،
bismillahi tawwakaltu ‘alallåh,
وَلا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
laa hawla wa laa quwwata illa billaahil a’zhiim
“Dengan nama Allah dan demi Allah, dan Allah Maha Besar, aku bertawakkal kepada Allah, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi”
مَا شَاءَ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِين وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ
maa syaa-a kaana wa maa-lam yasya’ yakun, subhaanaalladzi sakh-khårålanaa wa maa kunna lahu muq’riniin wa inna ila råbbana mung-qålibuun
“Karena kehendak Allah sesuatu terjadi, adapun jika Allah tidak menghendaki, maka tidak akan terjadi. Maha Suci Allah yang telah menjalankan kami, dan sebelumnya kami tidak mampu, dan hanya kepada Rabb kami, kami kembali.”
اللَّهمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَالتَّقْوَى ، وَمِنَ اْلعَمَلِ مَا تَرْضَى ،
allåhumma inni nas-aluka fii safarinaa hadzaa birråwat-taq’wa wa minal ‘amali maa tardhå
“Ya Allah! sesungguhnya aku memohon kepadaMu kebaikan dan ketakwaan di dalam perjalanan kami. Begitu pula amal yang Engkau ridhai”
اللَّهمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِي سَفَرِنَا هَذَا ، وَاَطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ ،
allåhumma hawwin ‘alaynaa fii safarinaa haadzaa wa ath-wi ‘annaa bu’dah
“Ya Allah mudahkan/ ringankanlah perjalanan kami ini, dan jadikan perjalanan yang jauh menjadi dekat dari kami.”
اللَّهمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ ،
allåhumma antash-shååhibu fiis-safar, wakh-liifatu fil ahl,
“Ya Allah! Engkaulah teman di dalam perjalanan, dan Pemimpin/ Penjaga keluarga dan harta.”
اللَّهمَّ إِنيِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبََةِ الْمَنْظَرِ ، وَسُوْءِ المُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَ اْلأَهْلِ وَالْوَلَدِ
allåhumma inni a-’udzubika min wa’-tsaa-is-safar, wa kaabatil munzhår, wa suu-il munqåbi fiil maa li wal ahli wal walad
“Ya Allah! sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari lelahnya perjalanan, dan sedihnya pemandangan, serta kesia-siaan tempat kembali, dan buruknya pemandangan pada harta, keluarga, dan anak.” (HR. Abu Daud, Shahih).

9. Shålat diatas kendaraanya ketika dalam perjalanan
Termasuk sunnah yang telah banyak ditinggalkan adalah shalat sunnah bagi musafir di atas kendaraannya.
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di atas tunggangan beliau ketika dalam safar dimana beliau mengarahkan tunggangannya ke arah kiblat dan shalat dengan memberi isyarat. Beliau mengerjakannya hanya pada shalat al-lail tidak pada shalat fardhu dan beliau mengerjakan shalat witir di atas kendaraan beliau.” (HR. Al-Bukhari).

10. Doa ketika singgah di suatu tempat.
Dari Khaulah binti Hakim As-Sulamiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia berdoa :
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“ Aku berlindung kepada dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhluk yang Engkau ciptakan.” (maka) Tidak akan ada sesuatupun yang dapat memudharatkan sampai ia berlalu dari tempat tersebut.” (HR. Muslim).

11. Disunnahkan untuk tinggal sementara dan makan secara bersama di satu tempat.
Apabila suatu kaum melakukan perjalanan bersama-sama disunnahkan bagi mereka berkumpul pada tempat di mana mereka tiba (singgah) dan bermalam. Demikian juga mereka bersama-sama makan agar mereka mendapatkan berkah.
Diriwayatkan oleh Abu Tsa`labah Al-Khusyani -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata : “Ketika para sahabat singgah di suatu tempat, para sahabat tersebut berpencar di lembah dan wadi , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika kalian berpencar seperti ini ada yang di bukit ada yang di lembah, sungguh yang demikian ini adalah termasuk dari godaan syaithan. Setelah itu apabila mereka turun singgah d isuatu tempat mereka tidak lagi berpencar melainkan mereka saling berkumpul sebagian dengan sebagian lainnyahingga apabila dihamparkan sebuah pakaian kepada mereka niscaya akan mencakup mereka semua” (HR. Abu Daud, dan dishahihkan oleh Al-Albani –Rahimahullah).
Berkumpul bersama dalam makan, akan mendatangkan berkah dan juga dan akan ditambahkan rezeki bagi mereka. Dari Husyai bin Harb dari Bapaknya dari Kakeknya, beliau berkata: Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Rasulullah, kami telah makan namun kami tidak bisa kenyang.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin karena kalian makan dengan terpisah-pisah? ”Para sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Berkumpullah kalian dalam makan di satu tempat dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberikan barakah pada makanan tersebut bagi kalian.” (HR. Abu Daud, dan dihasankan oleh Al-Albani Rahimahullah).

12. Hendaklah orang yang bersafar bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) ketika melewati tempat yang tinggi.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Bahwasanya seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku hendak bersafar, maka berilah aku nasehat” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah Ta’ala, dan mengucapkan takbir (bertakbir) ketika melewati tempat yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan).

13. Apabila takut terhadap gangguan manusia, maka hendaklah ia berdoa seperti yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
اللَّهُمَّ إِنَّا نَجْعَلُكَ فِي نُحُورِهِمْ، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شُرُورِهِمْ
Artinya, “Ya Allah, Sesungguhnya kami menjadikan Engkau sebagai Penolong dalam menghadapi mereka, dan sesungguhnya kami berlindung kepadaMu dari kejahatan-kejahatan mereka” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani),

14. Hendaklah dia berdoa di dalam safarnya dan memohon kepada Allah Ta’ala kebaikan dunia dan akhirat.
Karena safar merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terdapat tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi padanya: do’a orang yang dizhalimi, do’a orang yang bersafar, dan do’a orang tua kepada anaknya.” (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan).

15. Membaca doa – doa ketika safar yang telah ma’tsur (diriwayatkan) dari Nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam
Di antara doa – doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bepergian (safar) yakni :
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ،
“Allah Maha Besar (3x).
سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ
Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedang sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari Kiamat).
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِيْ سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى
Ya Allah! Sesungguh-nya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam bepergian ini, kami mohon perbuatan yang meridhakanMu.
اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ
Ya Allah! Permudahlah perjalanan kami ini, dan dekatkan jaraknya bagi kami.
اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ
Ya Allah! Engkau-lah teman dalam bepergian dan yang mengurusi keluarga(ku).
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَهْلِ. وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيْهِنَّ: آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ
Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.”
Apabila kembali, doa di atas dibaca, dan ditambah: “Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Tuhan kami.” (HR. Muslim 2/998.).

16. Disunnah-kan ketika safar untuk meng-QÅSAR-kan (memendekkan) shålatnya.
Dari banyak pendapat mengenai shålat seorang musafir, maka pendapat yang paling råjih -Insya Allåh- adalah meng-qåsar-kan shålat, tanpa men-jama’-nya (menggabungkan). Wallåhu ta’ala a’lam bish shåwwab.
Penjelasan lebih lengkap mengenai permasahan perbedaan pendapat diantara para ulama ini bisa dicek di link berikut:
Qasarkanlah (Pendekkanlah) shalatmu Ketika Engkau Musafir
- Mengqasarkan shalat Adalah Sedekah Allah
Allah (سبحانه وتعالى) berfirman di dalam surah an-Nisa’ ayat 101 (maksudnya):“Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-Qasar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.”

Dalam hal ini, terdapat suatu riwayat dari Abu Ya’la bin Umayyah, dia menceritakan:
“Aku pernah berkata kepada ‘Umar bin Khaththab: (Allah berfirman:) “maka tidaklah mengapa kamu meng-Qasar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. (Namun sekarang) masyarakat sekarang sudah berada dalam keadaan aman. ‘Umar berkata: “Aku juga pernah merasa hairan sebagaimana engkau merasa hairan. Maka aku bertanya kepada Rasulullah (ﷺ) mengenai hal tersebut. Beliau (ﷺ) bersabda: “Ia suatu sedekah yang telah disedekahkan oleh allah kepada kamu. Oleh itu, terimalah sedekah Allah.”
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 686)

- Hadits-Hadits Berkenaan Tuntutan Meng-Qasarkan shalat Di Dalam Perjalanan:
Ibnu ‘Umar ( رضي الله عنه‎ ) berkata:
“Aku pernah menemani Rasulullah (ﷺ) dalam perjalanannya dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat lebih dari dua rakaat (bagi setiap shalat). Demikian juga dengan Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Usman radhiyallåhu ‘anhum.
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 689)
Dari ‘Aisyah ( رضي الله عنه‎ ), dia menyatakan: “Ketika shalat pertama kali diwajibkan, Allah mewajibkan dua rakaat-dua rakaat, sama ada ketika sedang tidak dalam perjalanan maupun ketika dalam perjalanan. (Selepas hijrah Nabi (ﷺ)) shalat ketika safar ditetapkan/dibiarkan (dua rakaat), dan shalat ketika tidak safar (dalam perjalanan) ditambah (jumlah rakaatnya).
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 1570)
Imam Ahmad rahimahullah di dalam al-Musnadnya (6/241) menambahkan:
“Kecuali shalat Maghrib dan subuh”.
(Rujukan: Catatan kaki no. 71, m/s. 550, Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i)

Dari Ibnu ‘Abbas ( رضي الله عنه‎ ), dia menyatakan:
“Allah telah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi Kalian (ﷺ) ketika tidak dalam perjalanan (musafir) adalah empat rakaat dan ketika dalam perjalanan dua rakaat, serta ketika menghadapi rasa takut adalah satu rakaat.” (hadits Riwayat Muslim, Kitab orang-orang yang musafir, no. 687)
Perlu diketahui bahwa musafir itu ada dua macam. Ada musafir saa-ir yaitu yang berada dalam perjalanan dan ada musafir naazil yaitu musafir yang sudah sampai ke negeri yang ia tuju atau sedang singgah di suatu tempat di tengah-tengah safar selama beberapa lama.
Menjama’ shalat yaitu menjamak shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ boleh dilakukan oleh musafir saa-ir maupun musafir naazil. Namun yang paling afdhol (paling utama) untuk musafir naazil adalah tidak menjamak shalat. Musafir naazil diperbolehkan untuk menjamak shalat jika memang dia merasa kesulitan mengerjakan shalat di masing-masing waktu atau dia memang butuh istirahat sehingga harus menjamak. Adapun untuk musafir saa-ir, yang paling afdhol baginya adalah menjamak shalat, boleh dengan jamak taqdim (menggabung dua shalat di waktu awal) atau jamak takhir (menggabung dua shalat di waktu akhir), terserah mana yang paling mudah baginya.
(penjelasan diatas adalah penjelasan asy-syaikh al-utsaimin råhimahullåh, lihathttp://islamqa.com/ar/ref/49885, dialih bahasakan oleh al-ustadz muhammad abduh tuasikal)

17. Tetap disyari’atkan untuk shålat berjama’ah di mesjid apabila mendengar adzan, dan dianjurkan untuk datang ke mesjid untuk shålat berjama’ah apabila tidak mendengarnya (bagi pria).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ( رضي الله عنه‎ ), bahwa seorang LAKI-LAKI BUTA berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya keringanan untuk shalat di rumahku?” Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya,“Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat?” ia menjawab, “Ya”, beliau berkata lagi, “Kalau begitu, penuhilah”
[Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Masajid 653]

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengomentari hadits diatas:
“Itu orang buta yang tidak ada penuntunnya, namun demikian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tetap memerintahkannya untuk shalat di masjid. Maka orang yang sehat dan dapat melihat tentu lebih wajib lagi. Maka yang wajib atas seorang Muslim adalah bersegera melaksanakan shalat pada waktunya dengan berjama’ah. Tapi jika tempat tinggalnya jauh dari masjid sehingga tidak mendengar adzan, maka tidak mengapa melaksanakannya di rumahnya. Kendati demikian, jika ia mau sedikit bersusah payah dan bersabar, lalu shalat berjama’ah di masjid, maka itu lebih baik dan lebih utama baginya.”
[Syaikh Ibnu Baz, Fatawa ’Ajilah Limansubi Ash-Shihhah, hal.41-42]
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa mendengar seruan adzan tapi tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur”. [Hadits Riwayat Ibnu Majah 793, Ad-Daru Quthni 1/421,422, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/246]
Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Apa yang dimaksud dengan udzur tersebut?’ ia menjawab, ’Rasa takut (tidak aman) dan sakit”.
Dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjama’ah adalah apa yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dari jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab panggilan untuk sujud. Allah berfirman (yanga artinya): “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:42-43).
Yang dimaksud dengan “seruan untuk sujud” adalah seruan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Berkata Turjumanul Qur`an ‘Abdullah bin ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini: “Mereka mendengar adzan dan panggilan untuk shalat tetapi mereka tidak menjawabnya” (Ruhul Ma’ani 29/36).
Syaikh Al-Albany Råhimahullåh ditanya:
Manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, apakah shalat di rumah yang ia singgahi ataukah ia tetap datang ke masjid dan shalat bersama masyarakat setempat?

Jawaban
Pembuat syariat Yang Maha Bijaksana telah menggugurkan (kewajiban) bagi seorang musafir untuk mendirkan shalat jum’at, begitu pula dengan kewajiban mendirikan shalat berjamaah (di masjid). Akan tetapi shalat jamaah yang digugurkan kewajibannya adalah shalat jamaah bersama masyarakat setempat; sedangkan untuk sesama musafir mereka tetap wajib mendirikan shalat berjamaah.
Adapun tentang yang mana dari pilihan itu yang lebih afdhal,maka saya katakan bahwa yang lebih afdhal adalah yang lebih bermanfaat dan lebih mudah bagi mereka. Dan hukum ini adalah seperti hukum shalatnya wanita di rumah, yang lebih utama bagi wanita adalah shalat di rumah karena sabda Nabi shalallahu’alaihi wa salllam
“Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”
Akan tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa para wanita di zaman Nabi pun bolak-balik ke masjid, dan mereka shalat di belakang Nabi shalallahu’alaihi wa sallam hingga berkata sayyidah Aisyah radhiallahu’anha“
“Dahulu, para wanita muslimat sering mengerjakan shalat Shubuh di belakang Nabi, kemudian setelah itu mereka pulang dalam kegelapan (Shubuh), mereka menutupkan pakaian yang mereka kenakan ke tubuh mereka, dan mereka tidak dikenal kerena pekatnya gelap (awal Shubuh)”
Wanita-wanita shahabiyah pada zaman nabi tetap pergi ke masjid untuk mendirikan shalat walaupun shalat (di rumah) itu lebih baik dari mereka. Dan hukum ini tetap berlaku.
Dari sini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa kadang-kadang di dalam kekurangan itu muncul keutamaan. Dan di dalam keutamaan itu kadang-kadang muncul kekurangan. Kemudian beliau membawakan beberapa contoh di antaranya adalah shalatnya wanita di masjid.
Maka yang lebih afdhal bagi wanita adalah shalat di rumah, bahkan lebih afdhal lagi di dalam kamarnya (khusus). Semakin jauh dari pandangan, semakin afdhal baginya.
Meskipun demikian para wanita di zaman Nabi banyak yang shalat di masjid, karena mereka butuh kepada ilmu, dan ilmu tersebut tidak mungkin mereka peroleh jika mereka shalat di rumah terus. Maka dalam keadaan seperti ini shalatnya wanita di masjid lebih utama daripada shalatnya di rumah karena akan mendapat manfaat yang besar berupa ilmu dan tarbiyah Islam yang tidak mereka dapatkan jika mereka shalat di rumah. Dan keluarnya wanita seharusnya disertai dengan menjaga adab-adab Islam, baik ketika ia berangkat, ketika kembali ke rumah, dan ketika berada di perjalanan.
Berdasarkan hal ini, maka saya katakan: Jika seorang musafir mendapatkan manfaat dan faidah jika shalat di masjid, maka lebih utama baginya shalat di masjid, jika tidak maka lebih mudah dan lebih utama baginya shalat di rumah.
(Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah)

18. Apabila MENG-IMAMI shålat wajib 4 raka’at (zhuhur, ashr, ‘isya) (baik makmumnya mukim atau safar) tetap meng-qåsar-kan shålat.
Dan bila ada makmum yang mukim, maka tetap harus menyempurnakan shålatnya.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan:
“Para ulama telah sepakat bahwa jika orang yang bermukim/bermastautin menjadi makmum kepada imam yang bermusafir lalu musafir itu mengucapkan salam (setelah dua rakaat shalatnya secara Qasar – pen.), maka orang yang bermukim harus menyempurnakan shalatnya (kepada empat rakaat).”
(Rujukan: al-Mughni, 3/146. Lihat: Nailul Authaar, asy-Syaukani, 2/403)
Jika seorang musafir mengimami beberapa orang yang bermukim/bermastautin, lalu dia mengerjakan shalat itu secara lengkap/tamam/sempurna, maka shalat mereka itu sempurna dan sah, hanya saja bertentangan dengan yang afdhal (sunnahnya).
(Majmuu’ Fataawaa Ibni Baaz, 12/260).
(Dinukil daripada: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 270-271)

19. Apabila DI-IMAMI shålat wajib 4 raka’at (zhuhur, ashr, ‘isya) oleh mukim, tetap menyempurnakan shålatnya
Ibnu ‘Abbas rahimahullah (ketika bermusafir), dia akan shalat empat rakaat jika shalat bersama imam (yang mukim) dan dua rakaat (Qasar) jika shalat sendirian.(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 17 (688))
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan:
“Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa jika seorang musafir melakukan takbiratul ihram di belakang orang yang bermukim/bermastautin sebelum salamnya, maka dia harus mengerjakan shalat separti orang mukim, iaitu mengerjakan secara lengkap (empat rakaat)”.
(at-Tamhiid, 16/311-312)
“Mereka yang bermusafir ketika menjadi makmum kepada imam yang mukim harus mengerjakan shalat separti yang dilakukan imamnya (shalat sempurna/empat rakaat).
(Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 271)

20. Tidak ada shålat sunnah kecuali shålat-shålat sunnah muthlaqåh
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Kegigihan dan kesungguhan Rasulullah (ﷺ) dalam memelihara shalat sunnah sebelum Subuh lebih besar daripada shalat sunnah yang lainnya sehingga beliau tidak pernah meninggalkannya. Begitu pula shalat witr, sama ada ketika dalam perjalanan mau pun ketika sedang di rumah… Tidak pernah dinukil bahwa Rasulullah (ﷺ) mengerjakan shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah sebelum subuh dan shalat witr dalam perjalanannya.”
(Rujuk: Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, 1/315)
Berdasarkan fatwa Imam Ibnul Qayyim, ini menunjukkan bahwa dipahami hanya shalat sunnah rawatib subuh dan shalat witr yang dituntut. Dan tiada sandaran bagi kesunnahan melakukan shalat sunnah rawatib bagi shalat-shalat yang lain melainkan sebelum shalat subuh.
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Para ulama telah sepakat untuk menetapkan sunnah (adanya) terhadap shalat-shalat sunnah mutlak (shalat-shalat sunnah yang memiliki sebab untuk ia dilakukan) dalam perjalanan.”
(Syarhun Nawawi ‘alaa shahih Muslim, 5/205). (Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 269)
Keterangan: Shalat sunnah mutlak yang dimaksudkan adalah separti shålat witir, shalat sunnah Thawaf, shalat Tahiyatul Masjid, shalat sunnah wudhu’, shålat istikhårah, dan seumpamanya.

21. Tidak ada shålat jum’at bagi musafir.
Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu shalat dua raka’at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jum’at [Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/20] dengan sanad yang shahih]
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata “Tidak ada shalat Jum’at bagi Musafir”[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/19] dan Al-baihaqi dalam Al-Kubra [3/184] dengan sanad yang shahih]
[Disalin dari buku Hadyu Nabi Fi Yaumil Jum'ati Wal Yaltihaa Min Shahihil Sunnati, Edisi Indonesia Petunjuk Nabi Tentang Amalan Pada Malam dan Siang Hari Jum'at, Penulis Umar Abdul Mun'im Salim, Penerjemah Abu Okasha, Penerbit Pustaka Azzam]

22. Disunnahkan untuk tidak puasa bagi yang kepayahan, dan dianjurkan puasa bagi yang mampu
Pertanyaan:
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya puasa musafir padahal ia merasa berat ?
Jawaban:
Apabila puasa dirasa memberatkan dan membebaninya maka itu menjadi makruh hukumnya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang pingsan, orang-orang disekitar beliau berdesak-desakan, beliau bertanya : “Kenapa orang ini?”. Mereka menjawab. “Dia berpusa”. Beliau bersabda : “Puasa di waktu bepergian bukanlah termasuk kebaikan”
[Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang pingsan karena sangat panas, tidaklah termasuk kebaikan bahwa seseorang berpuasa kala bepergian (1946). Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di kala bulan Ramadhan bagi musafir untuk tujuan selain maksiat (1115)]
Adapun bila terasa berat atasnya puasa dengan kepayahan yang sangat maka wajib atasnya berbuka, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala orang banyak mengadukan kepada beliau bahwa mereka merasa berat berpuasa (tatkala bepergian, -pent) Nabi menyuruh mereka berbuka, lalu disampaikan lagi kepada beliau, “Sesungguhnya sebagian orang tetap berpuasa”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mereka itu ahli maksiat! Mereka itu pelaku maksiat!”
[Diriwayatkan oleh Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di bulan Ramadhan bagi musafir selain tujuan maksiat (1114)]
Sedangkan bagi orang yang tidak mengalami kepayahan untuk berpuasa, yang paling afdhal adalah tetap berpuasa meneladani Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala beliau tetap berpuasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu, “Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan di panas terik yang menyengat, tiada seorangpun dari kami yang berpuasa kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah”
[Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang pingsan karena sangat panas, tidaklah termasuk kebaikan bahwa seseorang berpuasa kala bepergian (1946). Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di kala bulan Ramadhan bagi musafir untuk tujuan selain maksiat (1115)]
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah, http://www.almanhaj.or.id/content/1959/slash/0]

23. Disunnahkan bagi musafir untuk segera kembali ke keluarganya setelah selesai urusannya dan tanpa menunda-nunda.
Disunnahkan bagi seorang musafir apabila dia telah mencapai maksud dari perjalanannya tersebut agar segera kembali kepada keluarga. Tidak berdiam melebihi kebutuhannya. Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Safar itu adalah bagian dari adzab, karena dengan safar ia terhalang untuk makan, minum, dan tidur. Maka jika telah selesai keperluannya maka hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari).
Ibnu Hajar -rahimahullah- mengatakan :
“Hadits ini menunjukkan makruhnya berpisah dari keluarganya lebih dari keperluannya. Dan disunnahkan untuk segera kembali kepada keluarganya apalagi ditakutkan kalau-kalau isterinya terabaikan di saat kepergiannya. Diamnya berkumpul bersama keluarga akan memberikan kesejukan yang dapat membantu perbaikan baik agama atau duniawiyah. Lagi pula berkumpul bersama keluarga akan mendatangkan rasa kebersamaan dan kekuatan dalam pelaksaan ibadah”
(Fathul Bari (3/730)).

24. Makruh bagi seorang musafir pulang menjumpai keluarganya di malam hari tanpa menginformasikan sebelumnya.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk mengetuk pintu rumah istrinya pada malam hari.” Pada riwayat Muslim: “Jika salah seorang dari kalian datang dari suatu perjalanan, janganlah mengetuk pintu rumah istrinya hingga istrinya tersebut telah merapikan dan menyisir rambutnya.”
Jadi sepantasnya bagi seorang musafir apabila dia kembali menjumpai istrinya untuk tidak mendatanginya di malam hari, sehingga ia tidak melihat apa yang dia benci dari penampilan istrinya yang tidak rapi.

25. Disunnahkan shalat dua rakaat bagi musafir ketika kembali ke negerinya.
Diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari suatu perjalanan maka yang pertama kali segera beliau lakukan shalat di masjid dua raka’at.
Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan : Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila beliau tiba dari suatu perjalanan pada waktu dhuha,beliau mendatangi masjid lalu mengerjakan shalat dua raka’at sebelum beliau duduk “(HR.Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Sumber: Minhajul Muslim,Oleh: Asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi[dengan beberapa penambahan adab-adab yang didapatkan dari berbagai sumber]

sumber : ibnuabbaskendari.wordpress.com
diterbit ulang dari catatan al- akh Ibnu Saidi

0 komentar:


Posting Komentar

 
Free counters!