rss

Rabu, 22 Juni 2011

Untaian Nasihat untuk Suami dan Istri (Bagian 1)

Untaian Nasihat untuk Suami dan Istri (Bagian 1)

Untaian Nasihat untuk Suami Istri
Untaian Nasihat untuk Suami Istri
Penulis: Al-Ustadz Al-Fadhil Muhammad Na’im, Lc.
Ikhwah dan akhwat fillah, semoga Allah azza wa jallamerahmati kami dan anda semua. Tiada hentinya kita panjatkan syukur kepada Allah azza wa jalla atas segala karunia yang dilimpahkan pada kita. Mari senantiasa kita memanfaatkan kenikmatan Allah azza wa jalla dalam rangka memperbaiki diri kita, karena banyak hal yang masih perlu diperbaiki dari berbagai kekurangan dalam menunaikan kewajiban. Juga memperbaiki berbagai kesalahan yang kita lakukan, yang mana itu dapat mengundang murka Allahazza wa jalla.
Kenikmatan Allah azza wa jalla khususnya kenikmatan sunnah adalah nikmat yang sangat besar, yang Allah  berikan hanya pada segelintir manusia. Allah berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am: 116)

Dari ayat ini jelas bahwa kebanyakan manusia mengajak pada kesesatan. Dan Allah azza wa jallaberfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (Yusuf: 106)
Maknanya, semakin sedikit di antara mereka yang benar-benar beriman, bahkan kebanyakan mereka masih ternodai dengan kesyirikan. Maka pada yang sedikit inilah, sebagaimana yang Allah nyatakan tersebut, mudah-mudahan kita termasuk dalam orang-orang yang Allah kecualikan tersebut. Yaitu yang senantiasa sesuai bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak-perilaku kita. Begitulah kenikmatan dari Allah dalam Islam dan dalam sunnah, merupakan kenikmatan yang tiada tandingannya.
Berpegang Teguh pada Bimbingan Islam
Islam telah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai kodrat, harkat dan martabat manusia. Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tuntunan kepada kita, khususnya dalam masalah muamalah suami-istri atau hubungan rumah tangga. Inilah hubungan yang merupakan lingkup kecil dalam masyarakat manusia, yang mana tatkala dalam lingkup kecil ini baik maka baiklah lingkup yang lebih besar. Semua ini berangkat dari rumah tangga yang masing-masing kita punya tanggungjawab di dalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampun, awal mula tanggungjawab dakwah beliau tunaikan mulai kepada keluarga, sebagaimana perintah Allah :
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara: 214)
Tanggung jawab ini mesti kita pahami dengan skala prioritas yang sesuai tuntunan agama, bukan oleh hawa nafsu dan kepentingan lainnya. Terkadang karena ada kepentingan maka orang lain lebih didahulukan daripada keluarganya. Ini sering terjadi, bahkan dalam masalah infak, atau dalam urusan memberi kebaikan. Padahal semestinya keluarga dan kerabat didahulukan daripada yang lainnya. Manakala kepedulian dan tanggung jawab ini dimulai dari suatu keluarga dengan saling memahami, maka insya Allah akan terjalin suatu masyarakat yang indah sekali.
Ada suatu kisah dari teladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana beliau membimbing untuk mengutamakan kerabat dalam hal kebaikan.
عَنْ كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ مَيْمُونَةَ بِنْتَ الْحَارِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا أَعْتَقَتْ وَلِيدَةً وَلَمْ تَسْتَأْذِنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُهَا الَّذِي يَدُورُ عَلَيْهَا فِيهِ قَالَتْ أَشَعَرْتَ يَا رَسُولَ اللهِ أَنِّي أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ
Dari Kuraib Maula Ibnu Abbas bahwasanya Maimuna binti Al-Harits memberitahukan kepadanya bahwa ia telah memerdekakan seorang budak tanpa meminta izin kepada Rasulullah. Maka ketika tiba waktu Rasulullah menggilirnya, Maimunah berkata, “Apakah engkau tahu wahai Rasulullah, bahwa aku telah memerdekakan budakku?” Beliau berkata, “Apakah memang sudah engkau merdekakan?” Maimunah berkata, “Ya.” Beliau berkata, “Sesungguhnya kalau engkau berikan ia kepada paman-pamanmu maka itu lebih besar pahalanya untukmu.” (HR. Bukhari)
Yaitu dengan memberi kebaikan berupa sadaqah kepada kerabat sekaligus adalah amalan menyambung kekerabatan. Inilah tutunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberi yang terbaik bagi kerabat.
Allah ta’ala telah mengajarkan bagaimana hak suami, kewajiban suami, hak istri, dan kewajiban istri. Semua telah ada tuntunannya dalam Islam. Jika ini semua terbolak-balik maka akan terjadi kekacauan dan ketidaktentraman. Maka itu jadilah istri yang terdidik dengan didikan sunnah. Bagaimanapun kedudukannya, seperti nasabnya yang mulia, keluarganya yang kaya raya, akan tetapi hendaknya tetap bisa menempatkan diri sesuai posisinya sebagai istri.
Ada banyak contoh dalam masyarakat yang indah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang bagaimana pahamnya mereka dengan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun dari kalangan perempuan di antara mereka. Rasanya jauh dibandingkan keadaan masa kita ini.
Salah satunya seperti kisah masyhur seorang jariyah.
عََنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِىِّ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ جَارِيَةٌ لِى صَكَكْتُهَا صَكَّةً. فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَىَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ أَفَلاَ أُعْتِقُهَا قَالَ : « ائْتِنِى بِهَا ». قَالَ : فَجِئْتُ بِهَا قَالَ : « أَيْنَ اللَّهُ ». قَالَتْ : فِى السَّمَاءِ. قَالَ : « مَنْ أَنَا ». قَالَتْ : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ : « أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ »
Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami. Ia berkata: Aku berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang budak perempuanku, telah aku pukul.” Rasulullah kemudian menegurku dengan keras. Lalu aku katakan, “Apakah tidak sebaiknya aku memerdekakannya?” Beliau berkata, “Bawalah ia kepadaku.” Mua’wiyah mengatakan, “Aku pun membawanya. Kemudian Rasulullah bertanya kepada budak itu, “Di manakah Allah?” Ia menjawab, “Di atas langit.” Rasulullah bertanya lagi, “Siapakah aku?” Ia menjawab, “Engkau adalah Rasul Allah.” Setelah itu beliau berkata, “Merdekakanlah ia karena ia seorang perempuan yang beriman.” (HR. Muslim)
Padahal jariyah adalah seorang budak perempuan yang kesehariannya bergelut dengan kambing gembala, akan tetapi mereka kenal dengan Allah dan bertauhid dengan benar.
Demikian juga kisah Barirah, seorang budak perempuan yang dimerdekakan oleh Aisyahradhiyallahu ‘anhu. Ini telah diriwayatkan dalam suatu kisah panjang, yang mana para ulama ada yang mengambil sampai seratus faidah dari kisah yang indah ini. Di antaranya yang bisa kita ambil dalam kaitan pembahasan kita, tentang kecerdasan Barirah dalam melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barirah yang telah bersuami itu dibebaskan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anhu . Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam melihat cinta suaminya, Mughits, begitu besar. Mughits masih budak sedangkan Barirah sudah merdeka. Dalam Islam, jika salah seorang suami atau istri sudah merdeka, maka adalah hak bagi yang sudah merdeka apakah mau meneruskan sebagai suami-istri atau tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat cintanya Mughits kepada Barirah, sampai-sampai diikutinya terus ke mana Barirah pergi bahkan sambil menangis. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat betapa bencinya Barirah kepada Mughits. Melihat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam iba, beliau berkata, “Wahai Barirah seandainya kamu kembali saja kepada suamimu.” Barirah berkata, “Wahai Rasulullah, engkau perintahkan aku untuk kembali, ataukah sekedar memberi hiburan saja? Jika ini perintah maka aku laksanakan walau aku tidak suka.”
Ini menunjukkan kepahaman dan ketaatan Barirah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun dia bekas budak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ini hanya syafi’ saja.” Barirah berkata, “Aku tidak butuh lagi pada suamiku.”
Kemudian kisah lainnya, Fatimah binti Qais yang dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm. Fatimah berkata:
فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ » .فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ « انْكِحِى أُسَامَةَ ». فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ بِهِ.
“Maka ketika aku telah halal (selesai dari masa iddah –pent.) aku bercerita kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarku. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Abu Jahm, maka ia adalah orang yang suka memukul.” Sedangkan Mu’awiyah, ia adalah seorang sho’luk yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah.” Namun aku tidak menyukai Usamah. Kemudian beliau berkata, “Menikahlah dengan Usamah.” Kemudian aku menikah dengannya. Dan Allah menganugrahkan kebaikan pada dirinya sehingga aku pun menyenanginya.” (HR. Muslim)
Karena Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan, maka Fatimah tetap melaksanakan. Ia yakin bahwa apa yang diperintahkan, meskipun tidak menyenangkan, pasti mengandung kebaikan. Karena tidak ada perintah dalam agama ini melainkan di dalamnya ada kebaikan. Dan itu akhirnya diakui sendiri oleh Fatimah. Setelah menikahi Usamah, dia menjadi yang paling cemburu kepada suaminya. Dan banyak kebaikan lain yang didapatkannya.
Masih banyak lagi kisah-kisah lainnya.
Keteguhan iman ini karena qowam suami, yang mendidik di atas sunnah. Laki-laki menjadiqowam dengan karunia kelebihan yang Allah berikan, dan dengan nafkah yang diberikan suami kepada istrinya. Manakala seorang muslimah memahami ini, maka tidak akan terjadi apa yang banyak terjadi sekarang dengan embel-embel emansipasi. Persamaan gender  yang tiada lain ujung-ujungnya adalah menuruti hawa nafsu. Ini hanyalah makar dari kaum kuffar Barat.
Kedudukan Suami Sebagai Qowam/Pemimpin
Allah telah menyatakan bahwa laki-laki setingkat lebih tinggi dari wanita. Ini adalah dalam urusan dunia, dan dalam hubungan suami istri. Sedangkan dalam hal ketakwaan adalah tergantung ketakwaan masing-masing. Ketika seorang istri memahami betul kedudukan seorang suami, ini adalah bagian dari ketakwaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ ، لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau saja aku boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku menyuruh para istri untuk bersujud kepada suami mereka.” (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Akan diperintahkan demikian karena kedudukan seorang suami. Akan tetapi kedudukan seperti ini adalah mandat dari Allah, yang didalamnya ada tanggung jawab. Bukan sekedar posisi. Dalam kedudukan ini ada tanggung jawab yang harus dipahami dengan baik. Allah memerintahkan suami untuk menjaga keluarganya, anak dan istrinya. Demikian pula untuk mendidik keluarga dengan baik dengan didikan sunnah. Semua ini adalah demi menjaga apa yang diamanahkan Allah tersebut. Allah azza wa jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Maknanya, jika anak dan istri tidak dididik dengan baik, maka itu seperti menyiapkan anak dan istri menjadi bahan bakar api neraka. Di ayat lain Allah berfrman:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافاً خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa: 9)
Yaitu kelemahan di dalam agamanya, dalam akidahnya, juga kelemahan dalam dunia. Maka janganlah kalian tinggalkan keluarga dalam keadaan lemah iman dan akidahnya. Dapat kita lihat bagaimana Sa’ad bin Abi Waqqas saat Fathu Makkah, yang mana beliau sudah lemah dan sakit. Ia menceritakan:
جَاءَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَعُودُنِي مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِي زَمَنَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقُلْتُ بَلَغَ بِي مَا تَرَى وَأَنَا ذُو مَالٍ ، وَلاَ يَرِثُنِي إِلاَّ ابْنَةٌ لِي أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ : لاََ قُلْتُ بِالشَّطْرِ قَالَ : لاََ قُلْتُ الثُّلُثُ قَالَ الثُّلُثُ كَثِيرٌ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ.
“Rasulullah datang membesukku karena sakit keras yang aku derita saat haji wada’. Aku berkata, “Keadaanku sudah sedemikian rupa sebagaimana yang engkau lihat. Dan aku memiliki harta. Sedangkan yang mewarisi hartaku hanyalah seorang anak perempuan. Maka apakah aku boleh bersedekah dengan dua per tiga hartaku?” Beliau berkata, “Tidak.” Aku berkata, “Dengan setengahnya?” Beliau berkata, “Tidak.” Aku berkata, “Sepertiganya?” Beliau berkata,“Sepertiga itu sudah banyak. Lebih baik engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan menjadi beban, meminta-minta kepada orang lain. Dan tidaklah engkau mengeluarkan suatu nafkah dengan mengharapkan wajah Allah, melainkan engkau akan diberi ganjaran pahala karenanya. Sampai apa yang engkau suapkan ke mulut istrimu sendiri.” (HR. Bukhari)
Ini adalah dalam hal dunia, maka dalam hal akhirat lebih penting lagi. Sebagaimana wasiat Luqman yang Allah abadikan dalam Al-Quran:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Luqman: 13)
Juga wasiat para Nabi dari Nabi Ya’kub, Nabi Ibrahim, Nabi Zakaria, dan lainnya. Mereka tidak berkata, “Apa yang akan kalian makan sepeninggalku nanti?” Allah berfirman:
أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”” (Al-Baqarah: 133)
Allah berfirman:
فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً
“Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa: 9)
Ini adalah tuntunan hendaknya suami mendidik istri dan anaknya jangan sampai mereka menjadi bahan bakar api neraka. Pada ayat lain Allah berfirman:
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Penekanan ayat ini adalah kepada para suami untuk memperhatikan anak keturunan, terkhusus shalat sebagai parameternya. Karena jika shalat telah disia-siakan maka akan diperturutkanlah hawa nafsu. Jika sudah hawa nafsu yang diikuti maka kesesatanlah yang didapat. Ini adalah di antara kewajiban suami agar memperhatikan kepada keluarganya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan dimintai tanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
Artinya, kedudukan yang Allah berikan itu ada pertangungjawabannya di akhirat. Bukan sekedar posisi atau mandat. Dalam hal ini, kepemimpinan laki-laki untuk bisa sampai kepada apa yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, harus meneladani Rasulullah.
Mungkin sebagian dari kita ada yang membayangkan, nanti ingin mendapat suami ideal yang meneladani Rasulullah. Atau mendapat istri ideal yang meneladani para istri Rasulullah. Akan tetapi hendaknya kita sadar bahwa kita manusia yang memiliki kelemahan. Keluarga kita bukanlah seperti keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita hanya berupaya meniti jejak beliau dan mengikuti bimbingan beliau. Para wanita kita tidaklah seperti Khadijah, Aisyah, para Ummahatul Mukminin. Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kadang mengalami riak-riak permasalahan keluarga. Maka pada kita lebih mungkin lagi terjadi permasalahan keluarga. Bahkan telah terjadi banyak sekali problema dari kalangan kita sendiri (padahal sudah mengenal sunnah). Maka itu perlu berlapang dada. Inilah yang perlu disadari dan dipahami.
Mungkin saja terjadi masalah, di mana si istri yang hanya seorang wanita biasa, bersikap kurang ajar kepada suami. Padahal si istri sudah mulai menuntut ilmu agama, akan tetapi bisa terjadi yang seperti ini. Hingga terjadilah apa yang terjadi, sampai pada perceraian. Mungkin permasalahan di antaranya adalah karena masalah tabiat, namun hendaknya kita tetap berusaha memperbaiki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
“Ilmu itu dengan dipelajari.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu akhlak bisa diperbaiki manakala kita berusaha, dengan taufik dari Allah. Sebagaimana di antara Sahabat pun di kala jahiliyah adalah manusia yang paling biadab, namun manakala masuk Islam, maka mereka berubah menjadi manusia yang paling beradab. Begitu juga para ulama. Ada di antara mereka yang sebelumnya adalah bermacam-macam. Seperti Fudhail bin Iyadl yang dulunya adalah seorang perampok. Atau Jazan yang pernah menjadi seorang ‘artis’. Namun akhirnya mereka bisa meninggalkan akhlak jelek mereka dan menjadi ulama. Mereka qudwah kita dalam mengubah akhlak yang tidak baik menjadi baik.
Dalam mendidik, janganlah menyamakan wanita dengan laki-laki. Menyikapi wanita tidak sama dengan menyikapi laki-laki, karena memang wanita tidak sama dengan laki-laki. Sebagaimana Al-Qur’an telah mengisahkan ketika istri Imran menginginkan diberi keturunan laki laki, namun yang dilahirkan adalah perempuan. Allah berfirman:
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنثَى
“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (Ali Imran: 36)
Maka ini adalah bantahan bagi emansipasi. Laki-laki berbeda dari wanita, secara jasad dan lainnya. Oleh karena itu kepemimpinan/qowamah membutuhkan kelembutan, lapang dada, kesabaran, kemudahan, kasih sayang. Inilah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendidik istri-istri beliau. Imam An-Nasa’i telah mengumpulkan dalam kitab ‘Isyratun Nisa`, mengenai rumah tangga Rasulullah. Jika kita mengambil teladan dari beliau maka itu akan menjadi solusi bagi permasalahan rumah tangga kita.
Saling Berlemah Lembut
Allah azza wa jalla berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (Ar-Rum: 21)
Ini ayat yang harus kita tadabburi. Dikatakan: litaskunuu ilaihaa. Bukan: ma’ahaa. Berarti seorang suami tidak tenang kecuali kepada istrinya. Dan sebaliknya istri pun tidak akan tenang kecuali kepada suaminya. Di sini ada hubungan saling membutuhkan. Qowamah suami bukan berarti menjadikannya sembrono lantaran dia pemimpin. Akan tetapi walau suami sebagaiqowam bagi istrinya, namun mereka tetap saling membutuhkan. Tidak boleh ada kesewenang-wenangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia itu adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah.”
Maka tinggal bagaimana suami itu mendidik istrinya agar dapat menjadi perempuan shalihah, yang menjadi kenikmatan terbesar di dunia. Walaupun seluruh dunia dimilikinya, namun jika tidak bersama istri yang shalihah, maka tidak akan ada ketenangan. Meski apa saja yang diinginkan telah didapatkannya, tapi sudah menjadi sebuah sunnatullah bahwa sebaik-baik perhiasan adalah perempuan shalihah, yang ia dapat tenang kepadanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Dawuddari hadis Abu Hurairah)
Tentunya akhlak yang terbaik adalah kepada istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” (HR. Ibnu Majahdari hadis Ibnu Abbas)
Lantas mengapa ada yang berlaku pada orang lain santun sekali, berbicara dan berbuat dengan lembut -seperti istri berkata kepada orang lain dengan lemah lembut- namun kepada suami atau istri sendiri akhlak ini ditinggalkannya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ
“Saling berwasiatlah berbuat baik terhadap wanita, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk.” (HR. Al-Baihaqi dari hadis Abu Hurairah)
Inilah kodrat wanita. Mendidiknya harus dengan halus dan lembut. Oleh karena itu dalam surat An-Nisa ayat ke-19, Allah azza wa jalla berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
Ma’ruf (patut) mencakup semua yang ma’ruf yang akan mengarah pada kebaikan. Contohnya ada banyak dalam rumah tangga Rasulullah. Lihatlah bagaimana sabarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi permasalahan rumah tangganya. Ini menjadi teladan bagi kita. Misalnya ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi kecemburuan istri beliau.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ غَارَتْ أُمُّكُمْ ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ.
“Dari Anas, ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumah salah seorang istri beliau. Lalu seorang istri beliau lainnya mengirimkan sepiring makanan. Istri yang rumahnya sedang ditempati oleh beliau pun memukul tangan si pembantu (yang membawakan makanan). Maka jatuhlah piring itu sehingga terbelah. Rasulullah kemudian mengumpulkan belahan piring tersebut lalu mengumpulkan kembali makanan (yang berserakan) itu ke dalamnya sambil berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Lalu beliau menahan pembantu itu sampai beliau dibawakan piring lain dari rumah istri yang sedang beliau tempati. Piring yang betul beliau berikan kepada pemilik piring yang pecah. Dan piring yang pecah beliau simpan di rumah istri yang memecahkan piring tadi.” (HR. Bukhari)
Jika permasalahan seperti itu ada muncul di rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka wajar jika terjadi pada kita juga. Akan tetapi yang penting adalah bagaimana kita meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapinya.
Jika istri sudah berusaha mentaati suami, maka ketika muncul suatu permasalahan rumah tangga, janganlah suami mencari-cari kesalahan. Tapi hendaknya ia melakukan introspeksi, karena permasalahan muncul juga dari pemimpinnya sebagai penangung jawab. Oleh karena itu Allah dalam akhir firman-Nya:
إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
“Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa: 34)
Ini sebagai peringatan bagi suami jangan berlaku bughat kepada istrinya. Ini juga mengandung makna tarhib bagi para suami untuk tidak semena-mena pada istrinya atau mencari-cari kesalahan tanpa alasan. Demikian sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Bersambung…
Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com
Sumber: Almadinah

0 komentar:


Posting Komentar

 
Free counters!