rss

Minggu, 12 Agustus 2012

Batas Waktu I’tikaf


Batas Waktu I’tikaf

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bagaimana hukumnya i’tikaf  di masjid   yang dilakukan (masuk) dari shalat isya sampai (pulang) shalat subuh?
Jazakallahu khairan
Dari: Ibnu Ali

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah
Ulama berbeda pendapat tentang rentang waktu minimal seseorang diam di masjid, sehingga bisa disebut melakukan i’tikaf (Fiqhul I’tikaf, 18).
Pertama, waktu minimalnya adalah sehari (melewati siang hari).
Pendapat ini merupakan keterangan dari Abu Hanifah, pendapat sebagian malikiyah, dan salah satu pendapat ulama syafiiyah.
Ulama yang memilih pendapat ini beralasan bahwa diantara syarat sahnya i’tikaf adalah harus dilakukan dalam kondisi puasa. Sebagaimana keterangan dari Aisyah:
لا اعتكاف إلا بصوم
“Tidak ada i’tikaf kecuali dengan puasa.” (HR. Ad Daruquthni dan Baihaqi)
Dan syarat puasa ini hanya mungkin jika melewati waktu siang.
Kedua, waktu minimalnya adalah sehari semalam, dan ini merupakan pendapat mayoritas malikiyah. Ini berdasarkan keterangan Ibnu Umar, beliau mengatakan:
لا اعتكاف أقل من يوم وليلة
“Tidak ada i’tikaf yang kurang dari sehari semalam.” (Disebutkan Syaikhul Islam dalam Syarhul Umdah, 2:760 dan beliau nyatakatan sebagai riwayat Ishaq bin Rahuyah)
Ketiga, batas minimal adalah sepuluh hari, dan ini berdasarkan salah satu keterangan Imam Malik.
Berdasarkan riwayat dari Aisyah, yang mengatakan:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعتكف العشر الأواخر حتى توفاه الله، ثم اعتكف أزواجه من بعده
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir, sampai beliau diwafatkan oleh Allah. Kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, boleh i’tikaf sehari saja atau semalam saja.
Berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Umar bin Khatab pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كنت نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام؟ قال: “فأؤف بنذرك
“Aku pernah bernadzar di zaman jahiliyah (sebelum masuk islam) utnuk melakukan i’tikaf semalam di masjidil haram?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Penuhi nadzarmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelima, boleh i’tikaf meskipun beberapa saat saja. Inilah pendapat mayoritas ulama.
Pendapat ini berdasarkan makna bahasa dari kata “i’tikaf”. Kata “i’tikaf” secara bahasa artinya berdiam. Ibnu Hazm mengatakan:
فكل إقامة في مسجد لله تعالى بنية التقرب إليه اعتكاف
“Semua bentuk berdiam di masjid karena Allah, dalam rangka beribadah kepada-Nya, termasuk i’tikaf.” (al-Muhalla, 5:179)
Pendapat ini dikuatkan dengan riwayat dari Ya’la bin Umayyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
إني لأمكث في المسجد الساعة، وما أمكث إلا لأعتكف
“Saya berdiam beberapa saat di masjid, dan tidaklah aku berdiam kecuali untuk i’tikaf.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazaq dalam al-Mushannaf).
Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam hal ini: yang menegaskan bahwa rentang minimal tinggal di masjid agar bisa disebut i’tikaf adalah sehari atau semalam.
Diantara alasan yang menguatkan pendapat ini:
Pertama, riwayat Umar bin Khatab yang meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan i’tikaf di Masjidil Haram selama semalam. Andaikan i’tikaf hanya boleh dilakukan sehari semalam, atau harus sepuluh hari, atau harus melewati siang hari karena harus puasa, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengizinkan sikap Umar. Karena berarti beliau tidak memenuhi syarat i’tikaf.
Kedua, secara bahasa, kata i’tikaf bisa bermakna berdiam sejenak atau berdiam lama. Sementara syariat tidak pernah menentukan batasan makna kata i’tikaf. Namun ini tidak bisa jadi dalil bahwa i’tikaf disyariatkan walaupun sesaat. Karena kita sangat yakin bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mondar-mandir, keluar masuk masjid, mengikuti shalat jamaah, jumatan, pengajian, dan berbagai kegiatan lainnya. Andaikan kegiatan mereka di masjid semacam ini bisa diniati i’tikaf, tentu akan terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau menjadi satu hal yang masyhur di tengah para sahabat, sehingga terdapat banyak keterangan yang sampai ke kita bahwa mereka melakukan semua itu dengan niat i’tikaf. Karena itu, keterangan Ya’la bin Umayah di atas, tidak sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan para sahabat.
Dalam al-Ikhtiyarat dinyatakan:
ولم ير أبو العباس لمن قصد المسجد للصلاة، أو غيرها أن ينوي الاعتكاف مدة لبثه
Abul Abbas (Syaikhul Islam) tidaklah menganggap orang yang berangkat ke masjid untuk melakukan shalat atau kegiatan lainnya, mereka berniat i’tikaf selama mereka berada di masjid. (al-Ikhtiyarat, 144)
(simak Fiqhul I’tikaf, 18–21)
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)


Baca selengkapnya: http://www.konsultasisyariah.com/rentang-waktu-minimal-untuk-itikaf/#ixzz1kFbVwLDh

0 komentar:


Posting Komentar

 
Free counters!