Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 1)

berikut ini adalah sambungan bantahan terhadap makalah Ulil yang membabat ke sana kemari dengan membati buta (karena memang buta mata hatinya). Karena yang dirusak terlalu banyak, maka tanggapan berikut ini hanyalah garis besarnya saja.
1. Ulil menyebut, “kaidah ahlu sunnah “La Ijtihad Fi Muqabalah al-Nash”, tidak dimungkinkan adanya ijtihat atau penalaran hukum dalam bidang-bidang di mana ada teks yang menerangkan dengan jelas ketentuan hukumnya, sebagai ketentuan hukum yang pasti dan mengikat, qath’i.” (alinea 2)
Saya katakan: “Nukilan ini betul, tetapi karena ternyata Ulil menolak nukilan kaidah tersebut, maka perlu saya jelaskan maksud ijtihad menurut ahlu sunnah wal jama’ah. Prof. Dr. al-Zunaidi menjelaskan bahwa ijtihad menurut salafiyah (ahlu sunnah) adalah: (a) mengerahkan daya dan mencurahkan segala kemampuan, (b) oleh seorang faqih, (c) untuk mengeluarkan hukum-hukum syar’i, (d) dari dalil-dalinya. Dari unsur-unsur definisi ini diketahui bahwa:
  1. Ajaran agama Islam yang telah diketahui secara badihi, dharuri, seperti rukun-rukun Islam, haramnya hal-hal keji yang munkar seperti: membunuh, zina, homo dan mencuri. Tidak masuk dalam bidang ijtihad, karena telah tercukupi oleh nash (ketentuan syari’at) tidak perlu mengerahkan daya kemampuan.
  2. Selain faqih –orang yang memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad– ijtihadanya tidak dianggap.
  3. Mengerahkan kemampuan untuk mengeluarkan hukum-hukum yang bukan syar’i, seperti peneliti dalam ilmu bahasa, sosial dan sains, tidak masuk dalam wilayah ijtihad yang sedang kita bicarakan.
  4. Siapa yang keluar dari dalil-dalil syar’i dalam proses ijtihadanya, umpamanya hanya mengandalkan pikiranya yang bebas atau mengikuti metodologi dalam ilmu pengetahuan lain, maka tidak dikatagorikan sebagai mujtahid syar’i.[1]
Dari sini dapat dimengerti, bahwa ijtihad itu diperlukan untuk mengetahui maksud Allah dan Rasul-Nya melalui dalil-dalil yang ada. Manakala sudah ada Nash yang sudah menjelaskan maksud Allah dan Rasul-Nya, maka kita tidak perlu ijtihad, tetapi tinggal mengamalkan saja. Karena itu imam Syafi’i berkata: “Telah berijma’ seluruh umat Islam bahwa barang siapa mengetahui ada sunnah Rasul shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkan sunnah tersebut karena perkataan siapapun.”[2]

sumber : http://old.gensyiah.com


[1] Abd. al-Rahman al-Zunaidi, Op. cit. 225
[2] Nashirudin al-Albani, Sifat Shalat Nabi (Beirut, Al-Maktab al-Islami, 1408) hal. 26