Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 7)

7. Ulil kemudian melanjutkan: “Dua kata itu, Qath’i dan Zhanni, dalam tradisi ushul fiqh klasik dan modern didefinisikan dalam cara yang bagi saya, kurang tepat (alinea 4)
Sudah bisa ditebak, bahwa ketika Ulil berangkat dari titik sekularisme dengan tujuan ingin membongkar supremasi al-Qur’an, maka ia pasti menolak semua kaidah yang ada dalam Islam, baik kaidah ushul, kaidah fiqh, kaidah tafsir, kaidah hadits, maupun kaidah dalam aqidah, kecuali kaidah yang dianggapnya sejalan dengan bid’ah “Kontekstualisasi syari’ah, seperti al-‘Adah Muhakkamah”, itupun menurut penafsirannya sendiri.
Selanjutnya Ulil menjelaskan makna Qath’i dan Zhanni menurut ahli sunnah. Kemudian Ulil menerangkan pembagian qath’i dan zhanni menjadi qath’iyul wurud dan zhanniyul wurud, qathiyud dilalah dan zhanniyud dilalah (alinea 4). Kemudian Ulil menjelaskan alasan ketidak setujuannya dengan mengatakan, “saya paham, bahwa pada akhirnya suatu ajaran dalam masyarakat yang mengenal kitab suci tertulis mau tidak mau mesti dilandaskan pada teks tertulis dalam kitab suci itu (alinea 5)
Di sini perlu kita berikan kesimpulan dan tanggapan:
  1. Ulil menolak kaidah qath’i dan zhanni, makna dan pembagiannya, karena kaidah ini didasarkan pada redaksi atau kalimat (yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah) yang berarti “tekstualis”.
  2. Dalam menjelaskan maksud zhanniyah wurud, Ulil telah berbuat salah dengan mengatakan “yaitu dalil yang transmisinya mengandung keraguan, apakah benar dalil itu diucapkan oleh Nabi atau tidak, misalnya” (alinea 4). Yang diucapkan oleh Ulil ini mengenai hadits dhaif, padahal yang dimaksud oleh para ulama adalah hadits shahih yang di dalam sanad (transmisi)nya mengandung kemungkinan kecil adanya kelemahan. Ini sama halnya dengan dua orang saksi yang saleh dan jujur, mereka tetap dipercaya, meskipun mengandung kemungkinan salah. Berbeda dengan dua orang saksi yang meragukan atau fasik, mereka ditolak, meskipun ada kemungkinan benar.
  3. Ulil menyebut istilah kitab suci tertulis. Ini adalah kelemahan Ulil akibat dia mengingkari kidah-kaidah dalam bahasa, sehingga berdusta atas nama bahasa atau salah menerjemah istilah atau membuat istilah yang salah. Kitab dalam bahasa Arab berarti yang “tertulis” atau “ditulis”, kalau tidak tertulis tidak disebut kitab. Tujuan Ulil adalah ingin membuat tandingan bagi al-Qur’an (yaitu kitab suci tertulis) dengan pengalaman manusia (yaitu kitab suci tak tertulis) yang berarti syari’at sejajar dan setingkat dengan pengalaman, atau teks al-Qur’an setingkat dengan konteks sosial. Itulah sebabnya ia sering menyebut istilah “wahyu verbal” (al-Qur’an dan Sunnah) sebagai imbangan wahyu non verbal (pengalaman manusia muslism, fasik atau kafir), “wahyu eksplisit” (al-Qur’an) dengan “wahyu implisit” (konteks). Salah satu konsekwensi kedua istilah ini adalah keyakinan bahwa al-Qur’an dan konteksnya adalah sama-sama wahyu Allah, atau al-Qur’an dan konteksnya adalah sama-sama makhluk Allah. melihat sikap Ulil, ia cenderung kepada kemungkinan kedua yaitu sama-sama makhluk-Nya.
sumber ::http://old.gensyiah.com/qath%E2%80%99i-dan-zhanni-dalam-ushul-fiqh.html