Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 8)

8. Lagi-lagi dengan congkaknya Ulil datang bagaikan pahlawan atau malah justru seperti Musailamah al-Kadzdzab yang membuat tandingan  syahadat محمد رسول الله menjadi مسيلمة رسول الله . pasalnya Ulil berkata “Tetapi justru di sinilah saya hendak mengemukakan pandangan lain, yaitu keharusan melakukan “paradigma Shift”, atau pembalikan paradigma. Bagi saya, teori tentang qath’i dan zhanni tidak bisa lagi dipertahankan lagi sebagai sekedar teori tentang “kata”, tetapi harus menjadi teori tentang nilai. Diskursus mengenai nilai dan teori nilai tampaknya kurang dikembangkan dengan serius oleh sarjana muslim, baik klasik atau modern” (alinea 5).
Ulil menolak untuk memahami al-Qur’an dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, mengapa?, karena Ulil telah mengingkari adanya hukum Allah. Memahami al-Qur’an dengan pendekatan Rasulullah shollalllohu ‘alaihi wa sallam  akan menghasilkan hukum yang berisikan perintah-perintah dan larangan, menghasilkan 5 macam hukum syar’i (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), mengetahui halal dan haram, membedakan taat dan maksiat, antara makruf dan munkar, tauhid dan syirik, iman dan kufur,Islam dan Riddah. Maka untuk menghindari ini, ia merusak kaidah bahasa dan menggantinya dengan kaidah nilai. Ia mempertentangkan antara hukum (syari’at) dan nilai, padahal syari’at Islam menggabungkan antara hukum dengan nilai. Syaikh Islam Ibn Taimiyah menjelaskan: “Syari’at (ajaran) itu ada tiga macam: Syari’at ‘Adl (hukum yang adil) saja, Syari’at fadhl (ajaran keutamaan, moral) saja, dan syari’at yang menggabungkan antara ‘Adl (hukum) dan Fadl (moral), ia mewajibkan keadilan dan menganjurkan keutamaan. Inilah yang paling sempurna dari ketiga macam syari’at tadi yaitu syari’at al-Qur’an yang menggabungkan antara ‘Adl dan Fadhl. Karena itu syari’at Taurat didominasi oleh kekerasan dan syari’at Injil dikusai oleh kelembutan. Sedangkan syari’at al-Qur’an adalah mu’tadilah (imbang) jami’ah (menggabungkan) antara kekerasan dan kelembutan.”[1]
Dari sini Ulil melakukan beberapa kelemahan:
  1. menolak paradigma keilmuan yang ada dalam Islam, tanpa alasan yang benar, dan ini membuat pelakunya kufur, sebagaimana yang nanti akan kita jelaskan.
  2. Mempertentangkan antara hukum dan nilai.
  3. Memenangkan nilai dan membatalkan hukum, padahal hukum itu wajib, standar keadilan dan nilai itu himbauan dan keutamaan.
  4. Mengganti penalaran fiqh dengan filsafat etika, padahal penalaran fiqh itulah tonggak Islam, jalan ilmu yang benar, istilah syar’i yang diperintah oleh al-Qur’an dan sunnah sebagaimana firman Allah dalam surat al-Taubah: 122 dan Sabda Nabi e  yang mengatakan bahwa tanda orang yang dikehendaki untuk mendapatkan kebaikan, adalah orang yang tafaqquh (memahami) agama Islam ini (HR. Bukhori, Muslim). Dan sebaliknya orang yang tidak faqih (faham) Islam adalah ciri orang munafiq (QS, Al-Munafiqun: 7) dan ciri penghuni neraka (al-A’raf: 179).
Dan yang perlu diketahui lagi, bahwa nilai yang dimaksud oleh Ulil tidak jelas ukuran dan batasannya. Nilai memiliki kandungan makna yang spekulatif dan relatif serta pemicu adanya polemik dan konflik pemikiran. Filsafat nilai pertama kali dikenalkan oleh Lotze, seorang filusuf Jerman (1881 ) dengan istilah Werte, lalu dikembangkan oleh Nietzsche (1990 ), kemudian Wirdelband (1915) dan diikuti oeh Kierkegoard (1936) dan Minsterburg (1936). Dalam bahasa Arab nilai adalah قيمة, sebagai terjemahan dari Valeyr (Perancis), Value-Worth (Inggris) dan Valor (Latin)[2]
Prof. Al-Zunaidi, menerangkan bahwa nilai yang dimaksud dalam filsafat ada tiga: kebenaran, kebaikan dan keindahan. Sedangkan dalam filsafat etika modern, nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi tema sentralnya adalah: keadilan, hikmah (kebijaksanaan), ihsan (berbuat baik), kebebasan, perdamaian, kejujuran, kerjasama, wafa’ (memenuhi janji) dan amanah, dll.
Kalau diperhatikasn nilai-nilai tersebut telah masuk dalam istilah akhlak, sehingga sebagian menamakan pelajaran akhlaq Islam dengan al-Qiyam al-Islamiyah[3]
Begitulah kiranya gambaran tentang latar belakang filsafat etika, hasil-hasil dari pemikir-pemikir Barat (yang kufur terhadap Islam) yang digunakan oleh Ulil untuk menundukkan al-Qur’an dan Sunnah.

[1] Al-Sa’di, Op.cit (1413), hal. 126
[2] Lihat, al-Zunaidi, Op.cit hal. 457-461; Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20 (Yogya, Tiara Wacana, 2001)
[3] al-Zunaidi, Op. cit, hal. 461